Sabtu, 17 Mei 2014

Atonia Uteri

Atonia Uteri

a.     Pengertian
Atonia uteri terjadi jika uterus tidak berkontraksi dalam 15 detik setelah dilakukan rangsangan taktil (pemijatan) fundus uteri. Perdarahan postpartum dengan penyebab uteri tidak terlalu banyak dijumpai karena penerimaan gerakan keluarga berencana makin meningkat (Manuaba & APN). 
Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan pospartum dini (50%), dan merupakan alasan paling sering untuk melakukan histerektomi postpartum. Kontraksi uterus merupakan mekanisme utama untuk mengontrol perdarahan setelah melahirkan. Atonia terjadi karena kegagalan mekanisme ini. Perdarahan  pospartum secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi serabut-serabut miometrium yang mengelilingi pembuluh darah yang memvaskularisasi daerah implantasi plasenta. Atonia uteri terjadi apabila serabut-serabut miometrium tidak berkontraksi.

Batasan: Atonia uteri adalah uterus yang tidak berkontraksi setelah janin dan plasenta lahir.

b.     Penyebab :
Atonia uteri dapat terjadi pada ibu hamil dan melahirkan dengan faktor predisposisi (penunjang ) seperti :
1. Overdistention uterus seperti: gemeli makrosomia, polihidramnion, atau paritas tinggi.
2. Umur yang terlalu muda atau terlalu tua.
3. Multipara dengan jarak kelahiran pendek
4. Partus lama / partus terlantar
5. Malnutrisi.
6. Penanganan salah dalam usaha melahirkan plasenta, misalnya plasenta belum terlepas dari dinding uterus.

c.     Gejala Klinis:
·         Uterus tidak berkontraksi dan lunak 
·         Perdarahan segera setelah plasenta dan janin lahir (P3).
d.     Pencegahan atonia uteri.
Atonia uteri dapat dicegah dengan Managemen aktif kala III, yaitu pemberian oksitosin segera setelah bayi lahir (Oksitosin injeksi 10U IM, atau 5U IM dan 5 U Intravenous atau 10-20 U perliter Intravenous drips 100-150 cc/jam.
Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko perdarahan pospartum lebih dari 40%, dan juga dapat mengurangi kebutuhan obat tersebut sebagai terapi. Menejemen aktif kala III dapat mengurangi jumlah perdarahan dalam persalinan, anemia, dan kebutuhan transfusi darah.Oksitosin mempunyai onset yang cepat, dan tidak menyebabkan kenaikan tekanan darah atau kontraksi tetani seperti preparat ergometrin. Masa paruh oksitosin lebih cepat dari Ergometrin yaitu 5-15 menit.
Prostaglandin (Misoprostol) akhir-akhir ini digunakan sebagai pencegahan perdarahan postpartum.


  e. Penanganan Atonia Uteri

Penanganan Umum

·         Mintalah Bantuan. Segera mobilisasi tenaga yang ada dan siapkan fasilitas tindakan gawat darurat.
·         Lakukan pemeriksaan cepat keadaan umum ibu termasuk tanda vital(TNSP).
·         Jika dicurigai adanya syok segera lakukan tindakan. Jika tanda -tanda syok tidak terlihat, ingatlah saat melakukan evaluasi lanjut karena status ibu tersebut dapat memburuk dengan cepat. 
·         Jika terjadi syok, segera mulai penanganan syok.oksigenasi dan pemberian cairan cepat, Pemeriksaan golongan darah dan crossmatch perlu dilakukan untuk persiapan transfusi darah.
·         Pastikan bahwa kontraksi uterus baik: 
·         lakukan pijatan uterus untuk mengeluarkan bekuan darah. Bekuan darah yang terperangkap di uterus akan menghalangi kontraksi uterus yang efektif. berikan 10 unit oksitosin IM 
·         Lakukan kateterisasi, dan pantau cairan keluar-masuk.
·         Periksa kelengkapan plasenta Periksa kemungkinan robekan serviks, vagina, dan perineum.
·         Jika perdarahan terus berlangsung, lakukan uji beku darah.
Setelah perdarahan teratasi (24 jam setelah perdarahan berhenti), periksa kadarHemoglobin:
·         Jika Hb kurang dari 7 g/dl atau hematokrit kurang dari 20%( anemia berat):berilah sulfas ferrosus 600 mg atau ferous fumarat 120 mg ditambah asam folat 400 mcg per oral sekali sehari selama 6 bulan;
·         Jika Hb 7-11 g/dl: beri sulfas ferrosus 600 mg atau ferous fumarat 60 mg ditambah asam folat 400 mcg per oral sekali sehari selama 6 bulan;

Penanganan Khusus
·         Kenali dan tegakkan diagnosis kerja atonia uteri.
·         Teruskan pemijatan uterus.Masase uterus akan menstimulasi kontraksi uterus yang menghentikan perdarahan.
·         Oksitosin dapat diberikan bersamaan atau berurutan
·         Jika uterus berkontraksi.Evaluasi, jika uterus berkontraksi tapi perdarahan uterus berlangsung, periksa apakah perineum / vagina dan serviks mengalami laserasi dan jahit atau rujuk segera.
·         Jika uterus tidak berkontraksi maka :Bersihkanlah bekuan darah atau selaput ketuban dari vagina & ostium serviks. Pastikan bahwa kandung kemih telah kosong
Antisipasi dini akan kebutuhan darah dan lakukan transfusi sesuai kebutuhan. Jika perdarahan terus berlangsung:
Pastikan plasenta plasenta lahir lengkap;Jika terdapat tanda-tanda sisa plasenta (tidak adanya bagian permukaan maternal atau robeknya membran dengan pembuluh darahnya), keluarkan sisa plasenta tersebut.Lakukan uji pembekuan darah sederhana.
Kegagalan terbentuknya pembekuan setelah 7 menit atau adanya bekuan lunak yang dapat pecah dengan mudah menunjukkan adanya koagulopati.
Sikap bidan

sikap bidan dengan atonia uteri
penanganan atonia uteri




Teknik KBI
1.      Pakai sarung tangan disinfeksi tingkat tinggi atau steril, dengan lembut masukkan tangan (dengan cara menyatukan kelima ujung jari) ke intraktus dan ke dalam vagina itu.
2.      Periksa vagina & serviks. Jika ada selaput ketuban atau bekuan darah pada kavum uteri mungkin uterus tidak dapat berkontraksi secara penuh.
3.      Letakkan kepalan tangan pada fornik anterior tekan dinding anteror uteri sementara telapak tangan lain pada abdomen, menekan dengan kuat dinding belakang uterus ke arah kepalan tangan dalam.
cara penanganan atoia uteri kompresi bimanual eksterna (KBE)
kompresi bimanual eksterna (KBE)



4.      Tekan uterus dengan kedua tangan secara kuat. Kompresi uterus ini memberikan tekanan langsung pada pembuluh darah di dalam dinding uterus dan juga merang sang miometrium untuk berkontraksi.
5.      Evaluasi keberhasilan:
-     Jika uterus berkontraksi dan perdarahan berkurang, teruskan melakukan KBl selama dua menit, kemudian perlahan-lahan keluarkan tangan dari dalam vagina. Pantau kondisi ibu secara melekat selama kala empat.
-     Jika uterus berkontraksi tapi perdarahan terus berlangsung, periksa perineum, vagina dari serviks apakah terjadi laserasi di bagian tersebut. Segera lakukan    si penjahitan jika ditemukan laserasi.
-     Jika kontraksi uterus tidak terjadi dalam waktu 5 menit, ajarkan keluarga untuk melakukan kompresi bimanual eksternal (KBE, Gambar 5-4) kemudian terus kan dengan langkah-langkah penatalaksanaan atonia uteri selanjutnya. Minta tolong keluarga untuk mulai menyiapkan rujukan.
Alasan: Atonia uteri seringkali bisa diatasi dengan KBl, jika KBl tidak berhasil dalam waktu 5 menit diperlukan tindakan-tindakan lain.
6.      Berikan 0,2 mg ergometrin IM (jangan berikan ergometrin kepada ibu dengan hipertensi)         
Alasan : Ergometrin yang diberikan, akan meningkatkan tekanan darah lebih tinggi dari kondisi normal.
7.      Menggunakan jarum berdiameter besar (ukuran 16 atau 18), pasang infus dan berikan 500 ml larutan Ringer Laktat yang mengandung 20 unit oksitosin. 
          Alasan:   Jarum dengan diameter besar, memungkinkan pemberian cairan IV secara cepat, dan dapat  langsung digunakan jika ibu membutuhkan transfusi darah. Oksitosin IV akan dengan cepat merangsang kontraksi uterus. Ringer Laktat akan membantu mengganti volume cairan yang hiking selama perdarahan. 
8.      Pakai sarung tangan steril atau disinfeksi tingkat tinggi dan ulangi KBI.
Alasan:   KBI yang digunakan bersama dengan ergometrin dan oksitosin dapat membantu membuat uterus-berkontraksi
9.      Jika uterus tidak berkontraksi dalam waktu sampai 2 menit, segera lakukan rujukan Berarti ini bukan atonia uteri sederhana. Ibu membutuhkan perawatan gawat-darurat di fasilitas kesehatan yang dapat melakukan tindakan pembedahan dan transfusi darah.
10.  Dampingi ibu ke tempat rujukan. Teruskan melakukan KBI hingga ibu tiba di tempat rujukan. Teruskan pemberian cairan IV hingga ibu tiba di fasilitas rujukan:
a.  Infus 500 ml yang pertama dan habiskan dalam waktu 10 menit.
b.  Kemudian berikan 500 ml/jam hingga tiba di tempat rujukan atau hingga jumlah cairan yang diinfuskan mencapai 1,5 liter, dan kemudian berikan 125 ml/jam.
c.   Jika cairan IV tidak cukup, infuskan botol kedua berisi 500 ml cairan dengan tetesan lambat dan berikan cairan secara oral untuk asupan cairan tambahan.
Kompresi bimanual eksternal
1.      Letakkan satu tangan pada abdomen di depan uterus, tepat di atas simfisis pubis.
2.      Letakkan tangan yang lain pada dinding abdomen (dibelakang korpus uteri), usahakan memegang bagian belakang uterus seluas mungkin.
cara penanganan atonia uteri kompresi bimanual eksterna (KBE)
Kompresi bimanual eksterna (KBE)




3.      
3.      Lakukan gerakan saling merapatkan kedua tangan untuk melakukan kompresi pembuluh darah di dinding uterus dengan cara menekan uterus di antara kedua tangan tersebut. (Pusdiknakes, Asuhan Persalinan Normal)
Jika perdarahan terus berlangsung setelah dilakukan kompresi:
·         Lakukan ligasi arteri uterina dan ovarika. 
·         Lakukan histerektomi jika terjadi perdarahan yang mengancam jiwa setelah ligasi. 

Uterotonika :

Oksitosin : merupakan hormon sintetik yang diproduksi oleh lobus posterior hipofisis. Obat ini menimbulkan kontraksi uterus yang efeknya meningkat seiring dengan meningkatnya umur kehamilan dan timbulnya reseptor oksitosin. Pada dosis rendah oksitosin menguatkan kontraksi dan meningkatkan frekwensi, tetapi pada dosis tinggi menyebabkan tetani.
Oksitosin dapat diberikan secara IM atau IV, untuk perdarahan aktif diberikan lewat infus dengan Larutan Ringer laktat 20 IU perliter, jika sirkulasi kolaps bisa diberikan oksitosin 10 IU intramiometrikal (IMM).
Efek samping pemberian oksitosin sangat sedikit ditemukan yaitu nausea dan vomitus, efek samping lain yaitu intoksikasi cairan jarang ditemukan.

Metilergonovin maleat : merupakan golongan ergot alkaloid yang dapat menyebabkan tetani uteri setelah 5 menit pemberian IM.
Dapat diberikan secara IM 0,25 mg, dapat diulang setiap 5 menit sampai dosis maksimum 1,25 mg, dapat juga diberikan langsung pada miometrium jika diperlukan (IMM) atau IV bolus 0,125 mg.
Obat ini dikenal dapat menyebabkan vasospasme perifer dan hipertensi, dapat juga menimbulkan nausea dan vomitus. Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan hipertensi.

Prostaglandin (Misoprostol) : merupakan sintetik analog 15 metil prostaglandin F2alfa.
Misoprostol dapat diberikan secara intramiometrikal, intraservikal, transvaginal, intravenous, intramuscular, dan rectal. Pemberian secara IM atau IMM 0,25 mg, yang dapat diulang setiap 15 menit sampai dosis maksimum 2 mg. Pemberian secara rektal dapat dipakai untuk mengatasi perdarahan pospartum (5 tablet 200 µg = 1 g).
Prostaglandin ini merupakan uterotonika yang efektif tetapi dapat menimbulkan efek samping prostaglandin seperti: nausea, vomitus, diare, sakit kepala, hipertensi dan bronkospasme yang disebabkan kontraksi otot halus, bekerja juga pada sistem termoregulasi sentral, sehingga kadang-kadang menyebabkan muka kemerahan, berkeringat, dan gelisah yang disebabkan peningkatan basal temperatur, hal ini menyebabkan penurunan saturasi oksigen.
    Uterotonika ini tidak boleh diberikan pada ibu dengan kelainan kardiovaskular, pulmonal, dan gangguan hepatik.
Efek samping serius penggunaannya jarang ditemukan dan sebagian besar dapat hilang sendiri. Dari beberapa laporan kasus penggunaan prostaglandin efektif untuk mengatasi perdarahan persisten yang disebabkan atonia uteri dengan angka keberhasilan 84%-96%. Perdarahan pospartum dini sebagian besar disebabkan oleh atonia uteri maka perlu dipertimbangkan pemakaian Uterotonika untuk menghindari perdarahan masif yang terjadi.


. Daftar Pustaka :
James R Scott, et al. Danforth buku saku obstetric dan ginekologiAlih bahasa TMA Chalik. Jakarta: Widya Medika, 2002. Obstetri fisiologi, Bagian Obstetri dan Ginekologi, Fakultas Kedokteran Unversitas Padjajaran Bandung, 1993.
Mochtar, Rustam. Sinopsis obstetrik. Ed. 2. Jakarta: EGC, 1998.
Manuaba, Ida Bagus Gede. Ilmu kebidanan, penyakit kandungan dan keluarga berencana. Jakarta: EGC, 1998.
Bobak, Lowdermilk, Jensen. Buku ajar keperawatan maternitas. Alih bahasa: Maria A. Wijayarini, Peter I. Anugerah. Jakarta: EGC. 2004
Heller, Luz. Gawat darurat ginekologi dan obstetric. Alih bahasa H. Mochamad martoprawiro, Adji Dharma. Jakarta: EGC, 1997.

induksi persalinan



Induksi Persalinan
1.      Pengertian Induksi persalinan
a.     Induksi persalinan ialah suatu tindakan terhadap ibu hamil yang belum inpartu, baik secara operatif maupun medicinal, untuk merangsang timbulnya kontraksi rahim sehingga terjadi persalinan. Induksi persalinan beda dengan akselerasi persalinan, di mana pada akselerasi persalinan tindakan – tidakan tersebut di kerjakan pada wanita hamil yang sudah inpartu (Wiknjosastro, hanifa, 2007: 73).
b.     Induksi persalinan merupakan suatu proses untuk memulai aktivitas uterus untuk mencapai pelahiran per vaginam (David T.Y Liu, 2002: 182).
c.      Induksi persalinan adalah upaya untuk melahirkan janin menjelanng aterm, dalam keadaan belum terdapat tanda-tanda persalinan, atau belum in partu, dengan kemungkinan janin dapat hidup di luar kandungan ( umur kandungan di atas 28 minggu) (dr. Ida Ayu Chandranita Manuaba, SpOG 2010: 451).
Jadi, dapat di simpulkan bahwa induksi persalinan adalah salah satu upaya stimulasi mulainya proses kelahiran ( dari tidak ada tanda – tanda persalinan, kemudian distimulasi menjadi ada), cara ini dilakukan sebagai upaya medis untuk mempermudah keluarnya bayi dari rahimsecara normal.
2.      Etiologi Induksi Persalinan
Induksi persalinan dilakukan karena :
Kehamilan sudah memasuki tanggal perkiraan lahir bahkan lebih dari 9 bulan, ( kehamilan lewat waktu). Di mana kehamilan melebihi 42 minggu, belum juga terjadi persalinan. Permasalahan lewat waktu adalah plasenta tidak mampu memberikan nutrisi dan pertukaran CO2/O2 sehingga janin menpunyai resiko asfiksia sampai kematian dalam rahim. Makin menurunnya sirkulasi darah menuju sirkulasi plasenta dapat mengakibatkan:
a)      Pertumbuhan janin makin melambat
b)      Terjadi perubahan metabolisme
c)      Air ketuban berkurang dan makin mengental
d)     Saat persalinan janin lebih mudah mengalami asfiksia
Resiko kematian perinatal kehamilan lewat waktu bisa menjadi tiga kali di bandingkan dengan kehamilan aterm. Ada komplikasi yang lebih sering menyertainya yaitu sepert, letak defleksi, posisi oksiput posterior, diastosia bahu, dan pendarahan post partum.
3.      Indikasi Induksi Persalinan
Menurut, dr. Ida Ayu Chandranita Manuaba, SpOG 2010: 451, bahwa induksi persalinan dibagi menjadi 2, yaitu:
1.      Indikasi Ibu.
ì Berdasarkan penyakit yang di derita:
a)      Penyakit ginjal
b)      Penyakit jantung
c)      Penyakit hipertensi
d)     Diabetes Melitus
e)      Keganasan Payudara dan porsio
f)       Komplikasi kehamilan
g)      Pre-eklamsi
h)      Eklamsi
ì  Berdasarkan kondisi fisik :
a)      Kesempitan panggul
b)      Kelainan bentuk panggul
c)      Kelainan bentuk tulang belakang
2.      Indikasi Janin.
1)      Kehamilan lewat waktu
2)      Plasenta previa
3)      Solusio plasenta
4)      Kematian intrauterin
5)      Kematian berulang dalam rahim
6)      Kelainan kongenital
7)      Ketuban pecah dini
4.      Kontraindikasi Induksi Persalinan
Menurut, dr. Ida Ayu Chandranita Manuaba, SpOG 2010: 453, kontraindikasi pada induksi persalinan yang akan dilakukan lebih merugikan dibandingkan tindakan sectio caesarea langsung.
1.      Untuk janin
a)      Diasproporsi sefalopelvis
b)      Malposisi dan malpresentasi janin
c)      Denyut jantung janin yang meragukan
2.      Untuk ibu
a)      Plasenta previa
b)       Grande multipara
c)      Infeksi herpes genital aktif
d)     Riwayat insisi uterus klasik atau bedah uterus
e)      Distensi rahim yang berlebihan, misalnya pada hidramion.
f)       Manisfestasi Klinis Induksi Persalinan
Manifestasi yang terjadi pada induksi persalinan adalah kontraksi akibat induksi mungkin terasa lebih sakit karena mulainya sangat mendadak sehingga mengakibatkan nyeri. Adanya kontraksi rahim yang berlebihan, itu sebabnya induksi harus dilakukan dalam pengawasan ketat, dari dokter yang menangani. Jika ibu merasa tidak tahan dengan rasa sakit yang di timbulkan, biasanya dokter akan menghentikan proses induksi kemudian di lakukan operasi sectio caesarea ( David T.Y. Liu 2007:185)
5.      Patofisiologis
Induksi persalinan terjadi akibat adanya kehamilan lewat waktu, adanya penyakit penyerta yang menyertai ibu misalnya hipertensi, diabetes, kematian janin, ketuban pecah dini. Menjelang persalinan terdapat penurunan progesteron, peningkatan oksitosin tubuh, dan reseptor terhadap oksitosin sehingga otot rahim semakin sensitif terhadap rangsangan. Pada kehamilan lewat waktu terjadi sebaliknya, otot rahim tidak sensitif terhadap rangsangan, karena ketegangan psikologis dan kelainan pada rahim. Kekhawatiran dalam menghadapi kehamilan lewat waktu adalah meningkatnya resiko kematian dan kesakitan perinatal.
Fungsi plasenta mencapai puncaknya pada kehamilan 38 minggu dan kemudian mulai menurun setelah 42 minggu , ini dapat di buktikan dengan adanya penurunan kadar estriol dan plasenta laktogen (dr. Ida Ayu Chandranita Manuaba, SpOG 2010: 454).
6.      Jenis Induksi Persalinan
1.      Secara medis
a)      Infus oksitosin
b)      Prostaglandin
c)      Cairan hipertonik intrauterin
2.      Secara manipulatif atau dengan tindakan
a)      Amniotomi
b)      Melepaskan selaput ketuban dari bawah rahim (Stripping of the membrane)
c)      Pemakaian rangsangan listrik
d)     Rangsangan pada puting susu
e)      Komplikasi Induksi Persalinan
o   Penyulit pemberian infus Oksitosin pada ibu adalah:
1)      Tetania uteri, ruptura uteri membakat dan ruptura uteri
2)      Gawat janin





2.2  Pendarahan Post Partum
Perdarahan post partum merupakan penyebab kematian maternal terbanyak. Semua wanita yang sedang hamil 20 minggu memiliki resiko perdarahan post partum dan sekuelenya. Walaupun angka kematian maternal telah turun secara drastis di negara-negara berkembang, perdarahan post partum tetap merupakan penyebab kematian maternal terbanyak dimana-mana.
Frekuensi perdarahan post partum yang dilaporkan Mochtar, R. dkk. (1965-1969) di R.S. Pirngadi Medan adalah 5,1% dari seluruh persalinan. Dari laporan-laporan baik di negara maju maupun di negara berkembang angka kejadian berkisar antara 5% sampai 15%. Dari angka tersebut, diperoleh sebaran etiologi antara lain: atonia uteri (50 – 60 %), sisa plasenta (23 – 24 %), retensio plasenta (16 – 17 %), laserasi jalan lahir (4 – 5 %), kelainan darah (0,5 – 0,8 %).
Penanganan perdarahan post partum harus dilakukan dalam 2 komponen, yaitu: (1) resusitasi dan penanganan perdarahan obstetri serta kemungkinan syok hipovolemik dan (2) identifikasi dan penanganan penyebab terjadinya perdarahan post partum.

1.      Pengertian pendarahan post partum
Perdarahan post partum adalah perdarahan lebih dari 500 cc yang terjadi setelah bayi lahir pervaginam atau lebih dari 1.000 mL setelah persalinan abdominal1,2,3. Kondisi dalam persalinan menyebabkan kesulitan untuk menentukan jumlah perdarahan yang terjadi, maka batasan jumlah perdarahan disebutkan sebagai perdarahan yang lebih dari normal dimana telah menyebabkan perubahan tanda vital, antara lain pasien mengeluh lemah, limbung, berkeringat dingin, menggigil, hiperpnea, tekanan darah sistolik < 90 mmHg, denyut nadi > 100 x/menit, kadar Hb < 8 g/dL 2.
Perdarahan post partum dibagi menjadi:
1)      Perdarahan Post Partum Dini / Perdarahan Post Partum Primer (early postpartum hemorrhage)
Perdarahan post partum dini adalah perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama setelah kala III.
2)      Perdarahan pada Masa Nifas / Perdarahan Post Partum Sekunder (late postpartum hemorrhage)
Perdarahan pada masa nifas adalah perdarahan yang terjadi pada masa nifas (puerperium) tidak termasuk 24 jam pertama setelah kala III.
2.      Etiologi
Penyebab terjadinya perdarahan post partum antara lain:
a)      Atonia uteri
b)      Luka jalan lahir
c)      Retensio plasenta
d)     Gangguan pembekuan darah
3.      Insiden
Insidensi yang dilaporkan Mochtar, R. dkk. (1965-1969) di R.S. Pirngadi Medan adalah 5,1% dari seluruh persalinan. Dari laporan-laporan baik di negara maju maupun di negara berkembang angka kejadian berkisar antara 5% sampai 15%5.
Berdasarkan penyebabnya diperoleh sebaran sebagai berikut:
a)      Sisa plasenta 23 – 24 %
b)      Retensio plasenta 16 – 17 %
c)      Laserasi - Atonia uteri 50 – 60 %
jalan lahir 4 – 5 %
d)     Kelainan darah 0,5 – 0,8 %
4.      Kriteria Diagnosis
1)      Pemeriksaan fisik:
Pucat, dapat disertai tanda-tanda syok, tekanan darah rendah, denyut nadi cepat, kecil, ekstremitas dingin serta tampak darah keluar melalui vagina terus menerus.
2)      Pemeriksaan obstetri:
Mungkin kontraksi usus lembek, uterus membesar bila ada atonia uteri. Bila kontraksi uterus baik, perdarahan mungkin karena luka jalan lahir.
3)      Pemeriksaan ginekologi:
Dilakukan dalam keadaan baik atau telah diperbaiki, dapat diketahui kontraksi uterus, luka jalan lahir dan retensi sisa plasenta.
5.      Faktor Resiko
1.      Penggunaan obat-obatan (anestesi umum, magnesium sulfat)
2.      Partus presipitatus
3.      Solutio plasenta
4.      Persalinan traumatis
5.      Uterus yang terlalu teregang (gemelli, hidramnion)
6.      Adanya cacat parut, tumor, anomali uterus
7.      Partus lama
8.      Grandemultipara
9.      Plasenta previa
10.  Persalinan dengan pacuan
11.  Riwayat perdarahan pasca persalinan
6.      Pemeriksaan Penunjang.
1.      Pemeriksaan laboratorium
*      Pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan sejak periode antenatal. Kadar hemoglobin di bawah 10 g/dL berhubungan dengan hasil kehamilan yang buruk.
*      Pemeriksaan golongan darah dan tes antibodi harus dilakukan sejak periode antenatal.
*      Perlu dilakukan pemeriksaan faktor koagulasi seperti waktu perdarahan dan waktu pembekuan.
2.      Pemeriksaan radiologi
*      Onset perdarahan post partum biasanya sangat cepat. Dengan diagnosis dan penanganan yang tepat, resolusi biasa terjadi sebelum pemeriksaan laboratorium atau radiologis dapat dilakukan. Berdasarkan pengalaman, pemeriksaan USG dapat membantu untuk melihat adanya jendalan darah dan retensi sisa plasenta.
*      USG pada periode antenatal dapat dilakukan untuk mendeteksi pasien dengan resiko tinggi yang memiliki faktor predisposisi terjadinya perdarahan post partum seperti plasenta previa. Pemeriksaan USG dapat pula meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas dalam diagnosis plasenta akreta dan variannya.
7.      Penatalaksanaan
Pasien dengan perdarahan post partum harus ditangani dalam 2 komponen, yaitu: (1) resusitasi dan penanganan perdarahan obstetri serta kemungkinan syok hipovolemik dan (2) identifikasi dan penanganan penyebab terjadinya perdarahan post partum.
1.      Resusitasi cairan
Pengangkatan kaki dapat meningkatkan aliran darah balik vena sehingga dapat memberi waktu untuk menegakkan diagnosis dan menangani penyebab perdarahan. Perlu dilakukan pemberian oksigen dan akses intravena. Selama persalinan perlu dipasang peling tidak 1 jalur intravena pada wanita dengan resiko perdarahan post partum, dan dipertimbangkan jalur kedua pada pasien dengan resiko sangat tinggi.
Berikan resusitasi dengan cairan kristaloid dalam volume yang besar, baik normal salin (NS/NaCl) atau cairan Ringer Laktat melalui akses intravena perifer. NS merupakan cairan yang cocok pada saat persalinan karena biaya yang ringan dan kompatibilitasnya dengan sebagian besar obat dan transfusi darah. Resiko terjadinya asidosis hiperkloremik sangat rendah dalam hubungan dengan perdarahan post partum. Bila dibutuhkan cairan kristaloid dalam jumlah banyak (>10 L), dapat dipertimbangkan pengunaan cairan Ringer Laktat.
Cairan yang mengandung dekstrosa, seperti D 5% tidak memiliki peran pada penanganan perdarahan post partum. Perlu diingat bahwa kehilangan I L darah perlu penggantian 4-5 L kristaloid, karena sebagian besar cairan infus tidak tertahan di ruang intravasluler, tetapi terjadi pergeseran ke ruang interstisial. Pergeseran ini bersamaan dengan penggunaan oksitosin, dapat menyebabkan edema perifer pada hari-hari setelah perdarahan post partum. Ginjal normal dengan mudah mengekskresi kelebihan cairan. Perdarahan post partum lebih dari 1.500 mL pada wanita hamil yang normal dapat ditangani cukup dengan infus kristaloid jika penyebab perdarahan dapat tertangani. Kehilanagn darah yang banyak, biasanya membutuhkan penambahan transfusi sel darah merah.
Cairan koloid dalam jumlah besar (1.000 – 1.500 mL/hari) dapat menyebabkan efek yang buruk pada hemostasis. Tidak ada cairan koloid yang terbukti lebih baik dibandingkan NS, dan karena harga serta resiko terjadinya efek yang tidak diharapkan pada pemberian koloid, maka cairan kristaloid tetap direkomendasikan.
2.      Transfusi Darah
Transfusi darah perlu diberikan bila perdarahan masih terus berlanjut dan diperkirakan akan melebihi 2.000 mL atau keadaan klinis pasien menunjukkan tanda-tanda syok walaupun telah dilakukan resusitasi cepat.
PRC digunakan dengan komponen darah lain dan diberikan jika terdapat indikasi. Para klinisi harus memperhatikan darah transfusi, berkaitan dengan waktu, tipe dan jumlah produk darah yang tersedia dalam keadaan gawat.
Tujuan transfusi adalah memasukkan 2 – 4 unit PRC untuk menggantikan pembawa oksigen yang hilang dan untuk mengembalikan volume sirkulasi. PRC bersifat sangat kental yang dapat menurunkan jumlah tetesan infus. Msalah ini dapat diatasi dengan menambahkan 100 mL NS pada masing-masing unit. Jangan menggunakan cairan Ringer Laktat untuk tujuan ini karena kalsium yang dikandungnya dapat menyebabkan penjendalan.
8.      Pencegahan
Bukti dan penelitian menunjukkan bahwa penanganan aktif pada persalinan kala III dapat menurunkan insidensi dan tingkat keparahan perdarahan post partum. Penanganan aktif merupakan kombinasi dari hal-hal berikut:
a.       Pemberian uterotonik (dianjurkan oksitosin) segera setelah bayi dilahirkan.
b.      Penjepitan dan pemotongan tali pusat dengan cepat dan tepat.
c.       Penarikan tali pusat yang lembut dengan traksi balik uterus ketika uterus berkontraksi dengan  baik.
                                                                                           
2.3  Induksi Persalianan Secara Farmakoterapi
1.      Tracrium
Atrakurium merupakan relaksan otot nondepolarisasi. Obat ini berkompetisi untuk reseptor kolinergik pada lempeng alir motorik. Lama blokade neuromuskuler adalah sepertiga dari pankuronium pada dosis ekuipoten. Obat ini mengalami metabolisme yang cepat via eliminasi Hofmann dan hidrolisis ester enzymatic non spesifik. Metabolik primernya adalah landanosin, suatu stimulan otak terutama diekskresi ke dalam urine. Dosis yang berulang atau infus yang berlanjut kurang mempunyai efek komulatif terhadap angka pemulihan dibanding relaksan otot lain. Konsentrasi landanosin darah dapat mendekati rentang konvulsan (5,1 g/ ml) pada infusyang lama. Pelepasan histamin dan perubahan hemodinamik dalam rentang dosis yang disarankan dan jika diberikan secara lambat adalah minimal. Dosis yang lebih tinggi (0,5 g/ kg) dapat menyebabkan pelepasan histamin yang sedang, penurunan tekanan arteri dan peningkatan nadi.
a.       Dosis
1.      Intubasi : IV 0,3 – 0,5 mg/ kg BB
2.      Pemeliharaan : IV 0,1 – 0,2 mg/ kg BB (10% – 50% dari dosis intubasi)
3.      Infus : 2 – 15 g/ kg per menit
b.      Eliminasi
1.      Plasma  (eliminasi Hofmann, hidrolisis ester), hati, ginjal.
2.      Pengenceran untuk infus : 20 mg dalam 100 ml larutan D5W atau NS (0,2 mg/ ml) ; 50 mg c)dalam 100 ml larutan D5W atau NS (0,5 mg/ ml).
c.       Farmakokinetik
1.      Awitan aksi :  < 3 menit
2.      Afek puncak : 3 – 5 menit
3.      Lama aksi : 20 – 35 menit.
d.      Interaksi / toksisitas
Blokade neuromuskuler dipotensiasi oleh aminoglikosida, antibiotik, anestetik lokal, dioretik, magnesium, litium, obat-obatan penyekat ganglion, hipotermi, hipokalemia, dan asidosis pernafasan, pemberian suksinilkolin sebelumnya ; kebutuhan dosis berkurang (sekitar 30 – 45%) dan lama blokade neuromuskuler diperpanjang hingga 25% oleh anestetik volatil ; dosis pra pengobatan atracurium mengurangi fasikulasi tetapi menurunkan intensitas dan memperpendek lamanya blokade neuromuskuler dari suksinilkolin ; peningkatan blokade neuromuskuler akan terjadi pada pasien dengan miastenia grafis atau fungsi adreno kortikal yang tidak adekuat. Efeknya diantagonisir oleh inhibitor antikolinesterase, seperti neostigmin, endrofonium, dan piridostigmin ; peningkatan resistensi atau reversi efek dengan penggunaan teofilin dan pada pasien dengan luka bakar dan paresis.
e.       Peringatan
Gunakan hati-hati pada pasien dengan riwayat asma bronkiale dan reaksi anafilaktoid.
f.       Rekasi terhadap sistem tubuh
1.      Kardiovaskuler : hipotensi, vasodilatasi, takikardi sinus, bradi kardi sinus.
2.      Pulmoner : hipoventilasi, apnea, bronkospasma, laringospasma, dispnea.
3.      Muskuloskeletal   : blok yang tidak adekuat, blok yang lama.
4.      Dermatologi   : ruam, urtikaria.
2.      Pentotal
Obat ini berbentuk pudar berwarna kuning dengan bau menyerupai H2S. obat ini larut dalam air dan alkohol. Larutan biasanya 2,5 – 5% dalam cairan aquades dan larutan ini sifatnya basa (PH 10,81).    Dalam bentuk larutan obat ini tidak stabil, tapi dapat disimpan 24 sampai 48 jam tanpa bahaya asal cairan larutan itu tetap jernih. Bila menjadi keruh harus dibuang.
a.       Pengeruh terhadap sistem tubuh
1.      Terhadap susunan syaraf pusat.
Seperti obat barbiturate lainnya obat ini menimbulkan sedasi, hipnose, sedikit analgesia, anestesia dan depresi pernafasan tergantung dari dosis dan kecepatan pemberian. Obat ini suatu anti konvulsan dan meninggikan ambang rangsangan pada sel-sel syaraf. Korteks serebri dan asending retikuler–aktivating sistem terdepresi lebih dulu sebelum pusat meduler. Obat ini lebih mendepresi transmisi simpatis dari pada para simpatis.
2.       Pada sistem respirasi
Pengaruh yang terbesar dari obat ini ialah depresi terhadap pusat pernafasan, yang tergantung pada dosis pemberiannya. Sensitivitas dari pusat pernafasan terhadap pengaruh CO2 menurun bahkan tidak ada. Tapi pada refleks karotid dan aortik body terhadap kekurangan oksigen masih tetap ada yang menimbulkan stimuli terhadap pernafasan.
3.      Pada sistem kardiovaskuler
Kekuatan kontraksi jantung menurun dan jantung melebar, tetapi hal ini tidak penting bagi penderita yang sehat dan hanya dengan dosis yang sedang. Hati-hati pada dekompensatio kordis dan sangat berbahaya pada penyakit jantung yang tidak dapat melakukan kompensasi bila terjadi perubahan kardiak output seperti konstriktif perikarditis, valvular stenosis, complete heart block.  ekanan darah menurun akibat dari depresi pada pusat vasomotor atau karena pelebaran dari vaskular bed pada kulit dan otot.
4.      Pada uterus yang hamil
Tidak mempengaruhi tonus uterus. Dapat melewati plasental barier dan mencapai konsentrasi maksimumnya pada peredaran darah bayi segera setelah disuntikkan.



b.      Keuntungan-keuntungan
1.      Induksi yang cepat dan mudah
2.      Tidak ada stadium delirium.
3.      Dengan dosis yang tepat, recovery cepat dan relatif bebas dari muntah dan nausea.
4.      Tidak ada iritasi pada mukosa saluran nafas.
5.      Dapat mempercepat dalamnya narkose.

c.       Kerugian-kerugian
1.      Depresi pernafasan
2.      Cenderung terjadi laringospasma
3.      Dengan dosis yang aman, relaksasi abdomen hanya sedikit.
4.      Depresi kardiovaskuler terutama untuk penderita yang lemah.
5.      Terjadi gerakan otot yang tidak terkoordinir.

d.      Kontra indikasi pentotal
1.      Anak-anak di bawah usia 4 tahun. Karena pusat pernafasannya sangat mudah terdepresi.
2.      Penderita shock, sangat anemis dan kasus uremia.
3.      Dispnea yang berat akibat penyakit jantung atau paru-paru.
4.      Kasus obstruksi pernafasan.
5.      Bronkoskopi dan esofaguskopi, kecuali disertai topikal anestesi yang cukup/ relaksan.
6.      Penderita asma.
7.      Penderita yang lemah dan tua.
8.      Kasus distrofia miotonia
9.      Addisons desease dan mix odema.
10.  Miastenia grafis
11.  Gangguan fungsi hepar.
12.  Porphyria
13.  Hiperkalemia familial periodik paralisis.
14.  Huntingtons Chorea
15.  Pada eksternal version (relaksasi tidak cukup)
16.  Penderita yang susah dicari venanya.

e.       Dosis
o   Induksi : IV 3 – 5 mg/ kg BB (anak 5 – 6 mg/ kg ; bayi 7 – 8 mg/ kg )
o   Suplementasi anestesia : IV 0,5 – 1 mg/ kg BB.
o   Induksi rektal : 25 mg/ kg BB
o   Antikomvulsan : IV 0,5 – 2 mg/ kg BB, ulangi seperti yang diperlukan.
o   Penurunan ICP : IV 1 – 4 mg/ kg BB
o   Narkosis barbiturat : bolus IV 8 mg/ kg prn untuk mempertahankan supresi ledakan EEG (dosis total 40 mg/ kg BB)
o   Infus : 0,05 – 0,35 mg/ kg BB/ menit ; pada dosis tinggi diperlukan bantuan pernafasan dan inotropik.
3.         Suksinil Kolin Klorida
Suksinil kolin merupakan relaksan otot skelet depolarisasi beraksi ultra pendek. Berkombinasi dengan reseptor kolinergik dari lempeng akhiran motorik untuk menghasilkan depolarisasi (fasikulasi). Suksinil kolin tidak mempunyai efek terhadap kesadaran, ambang nyeri, uterus atau otot polos lain. Suksinil kolin dapat meningkatkan tekanan intra okuler. Efek jantung awal mencerminkan aksi pada ganglia otonomik (meningkatkan nadi dan tekanan darah). Pada dosis yang lebih tinggi dapat terjadi bradikardi sinus.
a.       Farmakokinetik
Awitan aksi : IV 30 – 60 menit, IM 2 – 3 menit.
Efek puncak : IV 60 menit.
Lama aksi : IV 4 – 6 menit, IM 10 – 30 menit.
b.      Interaksi / Toksisitas
Blokade neuromuskuler dapat diperpanjang terjadi pada pasien dengan hipokalemia atau hipokalsemia, pseudo kolinesterase plasma yang rendah. Blokade diperpanjang oleh pra pengobatan dengan pankuronium. Pada miastenia grafis respon tidak dapat diramalkan, bradikardi setelah suntikan IV kedua. Suksinil kolin tidak kompatibel dengan larutan alkali dan akan mengendapkan natrium tiopental.
c.       Penggunaan
Relakasasi otot skelet
Dosis : IV 0,7 – 1 mg/ kg BB (1,5mg/ kg dengan pra pegobatan non depolarisator). Neonatus dan bayi 2 – 3 mg/ kg BB, anak-anak 1 – 2mg/ kg BB
IM : dalam 2,5 – 4 mg/ kg BB
d.      Reaksi samping utama
·         Kardiovaskuler : hipotensi, bradikardi, aritmia, takikardia, hipertensi.
·         Pulmoner : hipoventilasi, apnea, bronkospasma.
·         GI : salivasi berlebihan, peningkatan tonus sfingter intragastrek dan esofagus bagian bawah.
·         Alergik : reaksi anapilaktik, ruam.
·         Muskuloskeletal : blok yang diperpanjang, blok yang tidak adekuat, nyeri otot, peningkatan tonus maseter.
·         Lain-lain : hoperkalemia, hipertermia maligna, peningkatan tekanan intra okuler.
4.      Enflurane (etrane)
Enflurane merupakan metil eter yang mudah menguap. Merupakan cairan jernih, tidak berwarna dengan bau harum dan menyebabkan iritasi minimal pada jalan nafas, sehingga merupakan obat yang nyaman untuk induksi inhalasi. Enflurane tidak mudah terbakar pada konsentrasi dibawah 5,8 % (dengan 70 % N2O dan 30 % O2). Stabil pada sodalime, tidak bereaksi dengan logam dan tidak dapat dipengaruhi oleh cahaya.
MAC Enflurane menurun sesuai dengan umur, dengan nilai tertinggi pada bayi (2,4) dan terendah pada orang tua (1,4). Pada dewasa sekitar 40 tahun, MAC Enflurane dalam oksigen sebesar 1,7. Penambahan 50% N2O akan menurunkan MAC sekitar 50% menjadi 0,9 dan bila N2O ditingkatkan menjadi 70% maka MAC menurun 70% menjadi sekitar 0,5.
a.       Cara Pemberian
Induksi dapat dilakukan dengan cepat dengan menggunakan obat intravena seperti tiopental atau dengan inhalasi dengan meningkatkan secara gradual konsentrasi enflurane sampai 4%. Dengan teknik induksi menggunakan sungkup muka, stadium anestesi dicapai dalam 7-10 menit, sehingga enflurane merupakan gas yang nyaman untuk induksi dan lebih disukai daripada halotan.

b.      Absorbsi dan Eliminasi :
Koefisien partisi darah/gas enflurane adalah 1,9 (370 C) dan kelarutannya sangat bervariasi, berhubungan dengan berat badan dan kadar hemoglobin. Body Mass Index (BMI) diatas 30 menunjukkan kelarutan darah/gas yang rendah yaitu 1,8 dibandingkan nilai rata-rata sekitar 2,0 pan non obs. Konsentrasi Hb mempunyai  efek yang lebih besar. Hb 8,0 g/dl mempunyai koefisien darah/gas 1,2. Hb 12,0 g/dl berkisar 1,8 dan Hb 15, 0 g/dl berkisar 2,2. Koefisien kelarutan darah/gas rata-rata enflurane adalah 1,9 menunjukkan bahwa induksi menggunakan enflurane lebih lambat dibandingkan isoflurane. Kelarutan dalam jaringan kurang lebih setengah dari isoflurane, akibatnya efek terhadap jaringan lebih lambat, sehingga cenderung menkonpensasi kelarutan dalam darah yang tinggi. Setelah 10 menit induksi, konsentrasi alveolar enflurane berkisar 50% konsentrasi inspirasi dan dalam 30 menit menjadi 60%. Keseimbangan dalam jaringan kaya pembuluh darah tercapai dalam 10 menit. Selama 30 menit berikutnya uptake enflurane secara gradual akan menurun dan konsentrasinya lebih rendah, dengan rentang 3,0–3,5% akan memelihara konsentrasi alveolar sekitar 30% diatas MAC. Pada 1,3 MAC konsentrasi enflurane dalam darah (mg/dl), dengan koefisien kelarutan 1,9 dan tekanan parsial darah 2,2% (1,7% x 1,3 MAC), berkisar 30 mg/dl. Dengan N2O 70%, konsentrasi alveolar 1,3 x MAC dapat dipertahankan dengan membuat konsentrasi inspirasi enflurane sebesar 1,5%.
Pulih sadar bervariasi sesuai lama anestesi. Pada tindakan anastesi kurang dari 30 menit, rata-rata pulih sadar adalah 4 menit, dibandingkan 10 menit pada halotan. Dengan demikian rekoferi pasca tindakan anestesi yang diangkat pada penggunaan enflurane lebih cepat dibandingkan dengan halotan, sehingga enflurane lebih nyaman digunakan pada pelayanan pembedahan sehari. Untuk tindakan yang lama, pulih sadar enflurane 2 kali lebih panjang dari isoflurane, tetapi pada tindakan anastesi kurang dari 1 jam, pulih sadar terjadi kurang dari 15 menit pada sebagian besar pasien.

c.       Biotransformasi
2-8 % enflurane yang diabsorbsi dimetabolisme dan diekskresikan dalam urine sebagai ikatan fluorinated non volatil dan fluor bebas. Metabolik utama adalah asam diflurometoksi difluroasetat yang dihasilkan dari hidroksilasi dan dehidrogenasi karbon dari kelompok etil. Eliminasi enflurane dalam udara ekspirasi dalam bentuk trieksponensial dengan T ½ sekitar 17,8 menit, 3,2 jam dan 36,2 jam.

d.      Kadar Fluor Serum
Dalam klinik, kadar fluor serum inorganik jarang mencapai 50 mol/l (merupakan ambang toksisitas sub klinik). Dengan enflurane 2 MAC kadar fluor serum kurang dari 20 mol/l. kadar fluor yang tinggi tampak pada pasien yang gemuk, dengan kadar puncak sekitar 30 mol/l. akibat peningkatan pada metabolisme, fenomena ini juga tampak pada isoflurane. Fluor yang bebas yang terbentuk, kurang  lebih prosentasenya akan cepat dideposit pada tulang dan setengahnya lagi akan diekskresi dalam urine. Selanjutnya fluor secara bertahan akan dikeluarkan dari tulang dan akan diekskresikan melalui ginjal.
e.       Efek-Efek Fisiologis
1.      Sistem Syaraf Pusat
Penekanan progresif pada sususnan syaraf pusat terjadi dengan peningkatan kadar enflurane dalam darah, pada sekitar 15-20 ml/dl. Tanda-tanda iritabilitas tampak pada 2% dari pasien yang dimanifestasikan dengan gerakan abnormal (twitching) pada rahang, leher atau ekstreminitas yang berhubungan dengan kedalaman anestesi dan hipokarbi. Aktivitas kejang biasanya hilang sendiri dan tidak berlanjut bila anastesi dikurangi dan fentilasi dikembalikan normal, meskipun konsentrasi enflurane yang rendah (dibawah 2,0%).
2.      Aliran Darah Otak (CBF)
Enflurane hanya sedikit meningkatkan CBF meskipun demikian efek potensial pada tekanan intrakranial mungkin sebaiknya dipertimbang-kan dengan adanya lesi intrakarnial. Pada konsentrasi 1 MAC enflurane meningkatkan CBF sekitar 50% dimana hal ini dianggap cukup rendah dibandingkan dengan halotan yang dapat menaikkan CBF 2,5 kali lipat dari normal. Pada 1,5 MAC enflurane meningkatkan CBF 2 kali lipat meskipun peningkatan CBF oleh enflurane dapat dikurangi dengan hiperventilasi (yang menunjukkan bahwa reaktifitas CO2 tetap terpelihara).
Enflurane juga mendespresi susunan syaraf pusat. Pada 1-2 MAC, enflurane menurunkan CMRO2 sebesar 10-15%. Efek enflurane pada sekresi LCS adalah unik. Pada awalnya akan menaikkan produksi LCS sekitar 50%, sehingga menaikkan TIK pada pasien dengan penurunan kompliance intrakranial. Selanjutnya terjadi penurunan secara bertahap sekitar 6% per jam.
3.      Respirasi
Depresi ventilasi oleh enflurane sesuai kedalaman anestesi perubahan moderat pada ventilasi selama anestesi dangkal dengan 1,5-2 % enflurane dan 50%N2O akan memperbaiki takipnea dan volume tidal yang kecil. Enflurane cukup kuat mendepresi respirasi sehingga ventilasi asisted atau kontrol diperlukan. Ventilasi spontan pada pasien tanpa premedikasi dengan enflurane konsentrasi tinggi (dalam O2), ternyata mengalami depresi. Hal ini dibuktikan dengan peningkatan PaCO2 yang melebihi 70 mmHg pada konsentrasi alveolar sekitar 1,5 MAC.
Tidak lama setelah induksi terjadi perubahan yang ringan pada hantaran jalan nafas, tetapi dalam 15 menit tahanan jalan nafas akan menurun 56%, keadaan ini lebih menguntungkan.
4.       Jantung
Depresi kontraktilitas miokard terjadi selama anastesi dengan enflurane. Efek primer pada kontraktilitas menurunkan kekuatan kontraksi dan efek sekundernya adalah memendekkan durasi keadaan aktif. Para meter lain yang terdepresi adalah kecepatan pemendekan yaitu pemendekan serabut, tekanan menuju puncak dan kecepatam maksimal kontraksi isotonik kekuatan dan kerja. Depresi ini menurunkan curah jantung sebesar 30%, peranan terbesar adalah dengan menurunkan stroke volume.
Irama jantung tetap stabil. Aritmia umumnya tidak sering, termasuk kontraksi ventrikel yang prematur, bradikardi irama nodul dan kontrasi atrium yang prematur. Enflurane tidak meningkatkan sensitifitas terhadap katekolamin dengan derajar yang hampir sama dengan halotan. Enflurane dalam oksigen menurunkan resistensi vaskuler koroner sekitar 20% sedangkan konsumsi O2 miokard turun 40%. Enflurane merupakan vasodilator koroner dan tambahan N2O memperkuat efek ini. Pada 1-1,5 MAC menurunkan tekanan darah arteri sekitar 35-40%. Depresi simpatis sentral tampaknya bukan merupakan faktor yang penting sebagai penyebab hipertensi dengan enflurane oleh karena enflurane menurunkan resistensi vaskular sistemik hanya 20-25%.

5.      Sistem Syaraf Simpatis
Sekresi dan pelepasan katekolamin dari medula adrenal, dari aktivasi syaraf simpatis yang spontan atau dari stimulasi nervus splandinicus dihambat oleh enflurane.

6.      Ginjal
Menurunkan aliran darah ginjal, kecepatan filtrasi glomerulus, dan urine output. Sebagai akibat penurunan tekanan darah jantung. Setelah pemberian enflurane jangka lama, peningkatan kadar fluor diduga akibat penurunan kemampuan pemekatan ginjal.
7.      Hepar
Selama anestesi rutin dengan enflurane tidak terjadi penurunan fungsi hepar.

8.      Efek Neuromuskuler
Pada 1,5– 2,5 MAC mendepresi secara tidak langsung respon kejang pada preparat neuromuskuler. Keadaan ini menunjukkan bahwa enflurane mempunyai efek yang poten terhadap neuromuskuler junction. Pelumpuh otot dapat mengurangi konsentrasi enflurane sehingga dapat mengurangi terjadinya hipertensi.
5.      Efedrin sulfat
a.       Farmakologi
Obat ini merupakan suatu simpatomimetik non katekolamin dengan campuran aksi langsung dan tak langsung. Obat ini resisten terhadap metabolisme oleh MAO dan methil transferase katekol O (COMP), menimbulkan aksi yang berlangsung lama. Meningkatkan curah jantung, tekanan darah dan nadi melalui stimulasi adrenergik alfa  dan beta. Meningkatkan aliran darah koroner dan skelet dan menimbulkan bronkodilatasi melalui stimulasi reseptor beta 2. Epedrim mempunyai efek minimal terhadap aliran darah uterus, namun memulihkan aliran darah uterus jika digunakan untuk mengobati hipotensi epidural atau spinal pada pasien hamil.

b.      Farmakokinetik
1.      Awitan aksi : IV hampir langsung, IM beberapa menit.
2.      Efek puncak : IV 2 – 5 menit, IM kurang 10 menit.
3.      Lama aksi : IV / IM 10 – 60 menit.
4.      Interaksi / Toksisitas : peningkatan resiko aritmia dengan obat anestetik volatil.
c.       Reaksi samping utama
1.      Kardiovaskuler   : hipertensi, takikardia, aritmia.
2.      Pulmuner   : edema paru
3.      Susunan syaraf pusat   : ansietas, tremor.
4.      Metabolik : hiperglikemia, hiperkalemia sementara, kemudian hipokalemia.
5.      Dermatologi   : nekrosis pada tempat suntikan.
6.      Penggunaan   : vasopresor, bronkodilator.

d.      Dosis
1.      IV 5 – 20 mg (100 – 200 g/ kg)
2.      IM : 25 – 50 mg.
3.      PO : 28 – 50 mg tiap 3 – 4 jam.
4.      Eliminasi melalui hati dan ginjal.    

6.      Petidine
a.       Farmakologi
Opioid sintetik ini mempunyai kekuatan kira-kira sepersepuluh morfin dengan awitan yang sedikit lebih cepat dan lama aksi yang lebih pendek. Dibandingkan dengan morpin, petidin lebih efektif pada nyeri neuropatik. Mempunyai efek vagolitik dan antispasmodik ringan. Dapat menimbulkan hipotensi ortostatik pada dosis terapeutik. Petidin metabolik aktifnya merupakan stimulan otak dan terutama diekskresikan ke dalam urine. Petidine menurunkan aliran darah otak, kecepatan metabolisme otak dan TIK. Petidine melewati sawar plasenta maksimum dan depresi neonatus terjadi dua sampai tiga jam setelah pemberian parenteral. Pemberian petidine spinal dan epidural menimbulkan anelgesia melalui pengikatan spesifik dan aktivasi dari reseptor opioid dalam substansia gelatinosa.

b.      Farmakokinetik
1.      Awitan aksi : IV < 1 menit. IM 1–5 menit. Spinal/ epidural 2–12 menit
2.      Efek puncak : IV 5–20 menit, IM 30–50 menit, Spinal/ epidural 30 menit
3.      Lama aksi : IV/ IM 2–4 jam, epidural/ spinal 0,5 – 3 jam.



c.        Interaksi/ Toksisitas
Kejang, mioklonus, delirium pada dosis tinggi berulang dan pada pasien dengan gangguan ginjal atau hati ; mempotensiasi depresi susunan syaraf pusat dan sirkulasi dari narkotik, sedatif narkotik, anestetik volatil, anti depresi trisiklik ; reaksi berat kadang-kadang fatal (hipertermia, hipertensi, kejang) dengan inhibitor MAO : memperburuk efek samping isoniazid, campuran yang secara kimiawi tidak kompatibel dengan barbiturat, analgesia ditingkatkan dan diperpanjang oleh agonis alfa 2 (klonidin) ; penambahan epineprin pada petidin intra tekal/ epidural menimbulkan peningkatan efek samping (mual) dan perpanjangan blok motorik.
Pengenceran untuk infus : IV 100 mg dalam 50 ml D5W atau NS (2 mg/ ml), infus epidural 100 – 500 mg dalam 50 anestetik lokal atau NS (bebas pengawet) 2 – 10 mg/ ml.
d.      Reaksi samping utama
1.      Kardiovaskuler   : hipotensi, henti jantung.
2.      Pulmoner     : depresi pernafasan, henti nafas, laringospasma.
3.      Susunan syaraf pusat   : eforia, disforia, sedasi, kejang, ketergantungan psikis.
4.      GI    : konstipasi, spasma trakstus biliaris.
5.      Muskuloskeletal    : kekakuan dinding dada
6.      Alergik    : urtikaria, pruritus.

7.      Pitogin Ampul
Komposisi : Sinthetic Oxytocin.
1)      Indikasi
1.      Induksi pada persalinan dan kasus lain.
2.      Kontrol perdarahan dan pasca partum, atonus uterus.
3.      Menstimulasi kontraksi uterus pasca operasi sesar atau operasi uterus lainnya.
4.      Induksi Pada abortus.
2)      Kontra Indikasi
Kontraksi hipertonik, gawat janin dalam persalinan preterm, disporposi sefalopelvik, presentase abnormal, plasenta previa, abruptio plasenta, lilitan tali pusat atau prolapsus, peregangan berlebihan pada uterus.
3)      Perhatian
Untuk induksi atau mempercepat persalinan gunakan infus Intra Vena, monitor kecepatan detak jantung janin dan kontraksi uterus.
o   Interaksi Obat:
Prostaglandin, anestesi inhalasi, vasokonstriktor.
4)      Efek Samping
Intoksikasi air sementara, gangguan Gastro Intestinal, aritmia jantung.


5)       Indeks Keamanan Pada Wanita Hamil
X: Penelitian pada manusia dan hewan telah menunjukkan janin yang abnormal atau ada kejadian berbahaya pada janin berdasarkan pengalaman manusia atau keduanya, dan risiko penggunaan obat pada wanita hamil jelas melampaui keuntungannya. Obat dikontraindikasikan pada wanita yang sedang atau akan hamil.

6)      Kemasan
Ampul 10 iu/mL 1 mL x 10's.
o   Dosis
1.      Induksi atau mempercepat Persalinan 1 - 5 iu secara infus Intra Vena dalam 500 mL larutan infus. Awal kecepatan infus : 1 - 4 miliunit / menit ( 2 - 8 tetes/menit ), ditingkatkan secara bertahap, maksimal : 20 miliunit /menit ( 40 tetes/menit )
2.      Abortus Inkomplet 5 iu Intra Vena perlahan atau 5 - 10 iu Intra Muskular, perlu lanjutkan dengan 20 - 40 miliunit/menit infus Intra Vena.
3.      Pencegahan atau Terapi Perdarahan Pasca Persalinan 5 iu Intra Vena atau Intra Muskular.
4.      Seksio Caesar 5 iu intramural atau Intra Vena perlahan setelah anak lahir.
5.      Obat – obat yang termasuk uterotonik dan yang biasa digunakan untuk pencegahan perdarahan postpartum :
ü  Oksitosin
Oksitosin identik dengan oksitosin yang dibuat oleh tubuh di lobus posterior hipotalamus. Dapat diberikan suntikan intravena atau intramuskular sebelum atau setelah melahirkan tali pusat. Dianjurkan untuk diberikan setelah melahirkan bahu depan (anterior shoulder). Hati – hati bila diberikan bolus karena dapat menyebabkan hipotensi.
ü  Metilergometrin
Metilergometrin biasa diberikan secara intramuskular meskipun juga dapat diberikan intravena atau oral. Kontraindikasi untuk pasien dengan hipertensi, migrain, sindroma Raynaud. Efek samping yang mungkin timbul mual, muntah, tinitus, sakit kepala, peningkatan tekanan darah. Metilergometrin juga dikeluarkan melalui ASI.
Di beberapa negara dunia, selain dari uterotonik yang sudah ada danPitocin adalah Oksitosin versi sintetik yang dibuat manusia. Oksitosin adalah hormon alami yang diproduksi oleh tubuh.
§  Kapan Pitocin Digunakan dalam persalinan?
Meskipun Pitocin dimaksudkan untuk hanya digunakan dalam kala I tahap akhir, namun kenyataannya saat ini itu digunakan secara rutin dari awal persalinan atau bahkan untuk memulai persalinan secara artifisial. Padahal Penggunaan yang disarankan, pada label adalah:

PENGGUNAAN:
Oksitosin adalah hormon yang digunakan selama tahap akhir kehamilan untuk menginduksi persalinan (kontraksi).  ini sering digunakan untuk induksi persalinan pada kehamilan sulit atau kehamilan berisiko komplikasi (misalnya, preeklampsia, eklampsia, diabetes).
Pitocin sering dianjurkan jika staf medis Anda terasa seperti tidak ada "kemajuan" dalam persalinan atau jika kontraksi Anda tampaknya tidak akan "efektif". Dokter mengikuti bagaimana kemajuan persalinan anda melalu grafik. Grafik ini telah ada selama seratus tahun atau lebih. Bagan untuk persalinan tahap pertama (kala I) adalah seorang ibu bersalin harus mengalami pembukaan serviks/ melebarkan 1 cm / jam.
Kontra indikasi Pitocin:
Saya akan mulai dengan mengatakan bahwa dalam situasi darurat yang benar Pitocin dapat menjadi alat vital. Jika seorang wanita mengalami pendarahan setelah melahirkan, Pitocin dapat membantu menghentikan pendarahan sebelum resiko kematian mengancam. Namun, sebagian besar pitocin tidak digunakan untuk situasi darurat saja.
PERINGATAN:
Obat ini direkomendasikan hanya untuk digunakan dalam kehamilan yang memiliki alasan medis untuk membantu persalinan (misalnya, eklampsia). Hal ini tidak dianjurkan untuk prosedur elektif (sukarela) atau untuk membuat proses melahirkan lebih nyaman. Untuk informasi tambahan, konsultasikan dengan dokter Anda.

2.4  Penanganan Perdarahan Post Partum Secara Farmakoterapi
Tranexamic acid digunakan untuk membantu menghentikan kondisi perdarahan. Tranexamic acid merupakan agen antifibrinolytic. Obat ini bekerja dengan menghalangi pemecahan bekuan darah, yang mencegah pendarahan. Obat ini hanya tersedia dengan resep dokter.
o   Obat ini tersedia dalam bentuk sediaan berikut:
a.       Tablet
b.      Sirup
o   Indikasi
1.      Untuk membantu menghentikan perdarahan
2.      Pengelolaan jangka panjang untuk angioedema herediter
o   Kontraindikasi
1.      Gagal ginjal berat
2.      Pembekuan intravaskular aktif
3.      Penyakit tromboemboli
4.      Gangguan penglihatan warna
5.      Perdarahan subarachnoid

o   Dosis
Dewasa
1.      Untuk pengelolaan perdarahan jangka pendek
1-1,5 g 2-4 kali/hari
2.      Pengelolaan jangka panjang untuk angioedema herediter
1-1,5 g 2-3 kali/hari

o   Efek samping
Seiring dengan efek yang diperlukan, obat dapat menyebabkan beberapa efek samping. Meskipun kecil kemungkinan untuk mengalami efek samping pada penggunaan obat ini, namun jika terjadi efek samping mungkin akan memerlukan perawatan medis.
Segera periksa ke dokter, jika terjadi salah satu efek samping berikut ini:
1.      Kulit pucat
2.      Masalah pada pernapasan
3.      Perdarahan atau memar yang tidak biasa
4.      Kelelahan atau kelemahan