Induksi Persalinan
1. Pengertian
Induksi persalinan
a. Induksi
persalinan ialah suatu tindakan terhadap ibu hamil yang belum inpartu, baik
secara operatif maupun medicinal, untuk merangsang timbulnya kontraksi rahim
sehingga terjadi persalinan. Induksi persalinan beda dengan akselerasi
persalinan, di mana pada akselerasi persalinan tindakan – tidakan tersebut di
kerjakan pada wanita hamil yang sudah inpartu (Wiknjosastro, hanifa, 2007: 73).
b. Induksi
persalinan merupakan suatu proses untuk memulai aktivitas uterus untuk mencapai
pelahiran per vaginam (David T.Y Liu,
2002: 182).
c. Induksi
persalinan adalah upaya untuk melahirkan janin menjelanng aterm, dalam keadaan
belum terdapat tanda-tanda persalinan, atau belum in partu, dengan kemungkinan
janin dapat hidup di luar kandungan (
umur kandungan di atas 28 minggu) (dr. Ida Ayu Chandranita Manuaba, SpOG 2010:
451).
Jadi,
dapat di simpulkan bahwa induksi persalinan adalah salah satu upaya stimulasi
mulainya proses kelahiran ( dari tidak ada tanda – tanda persalinan, kemudian
distimulasi menjadi ada), cara ini dilakukan sebagai upaya medis untuk
mempermudah keluarnya bayi dari rahimsecara normal.
2. Etiologi
Induksi Persalinan
Induksi
persalinan dilakukan karena :
Kehamilan sudah memasuki tanggal
perkiraan lahir bahkan lebih dari 9 bulan, ( kehamilan lewat waktu). Di mana kehamilan
melebihi 42 minggu, belum juga terjadi persalinan. Permasalahan lewat waktu
adalah plasenta tidak mampu memberikan nutrisi dan pertukaran CO2/O2 sehingga
janin menpunyai resiko asfiksia sampai kematian dalam rahim. Makin menurunnya
sirkulasi darah menuju sirkulasi plasenta dapat mengakibatkan:
a) Pertumbuhan
janin makin melambat
b) Terjadi
perubahan metabolisme
c) Air
ketuban berkurang dan makin mengental
d) Saat
persalinan janin lebih mudah mengalami asfiksia
Resiko kematian perinatal kehamilan
lewat waktu bisa menjadi tiga kali di bandingkan dengan kehamilan aterm. Ada
komplikasi yang lebih sering menyertainya yaitu sepert, letak defleksi, posisi
oksiput posterior, diastosia bahu, dan pendarahan post partum.
3. Indikasi
Induksi Persalinan
Menurut, dr. Ida Ayu Chandranita
Manuaba, SpOG 2010: 451, bahwa induksi persalinan dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Indikasi
Ibu.
ì Berdasarkan
penyakit yang di derita:
a) Penyakit
ginjal
b) Penyakit
jantung
c) Penyakit
hipertensi
d) Diabetes
Melitus
e) Keganasan
Payudara dan porsio
f) Komplikasi
kehamilan
g) Pre-eklamsi
h) Eklamsi
ì Berdasarkan
kondisi fisik :
a) Kesempitan
panggul
b) Kelainan
bentuk panggul
c) Kelainan
bentuk tulang belakang
2. Indikasi
Janin.
1) Kehamilan
lewat waktu
2) Plasenta
previa
3) Solusio
plasenta
4) Kematian
intrauterin
5) Kematian
berulang dalam rahim
6) Kelainan
kongenital
7) Ketuban
pecah dini
4. Kontraindikasi
Induksi Persalinan
Menurut, dr. Ida Ayu Chandranita
Manuaba, SpOG 2010: 453, kontraindikasi pada induksi persalinan yang akan
dilakukan lebih merugikan dibandingkan tindakan sectio caesarea langsung.
1. Untuk
janin
a) Diasproporsi
sefalopelvis
b) Malposisi
dan malpresentasi janin
c) Denyut
jantung janin yang meragukan
2. Untuk
ibu
a) Plasenta
previa
b) Grande multipara
c) Infeksi
herpes genital aktif
d) Riwayat
insisi uterus klasik atau bedah uterus
e) Distensi
rahim yang berlebihan, misalnya pada hidramion.
f) Manisfestasi
Klinis Induksi Persalinan
Manifestasi yang terjadi pada induksi
persalinan adalah kontraksi akibat induksi mungkin terasa lebih sakit karena
mulainya sangat mendadak sehingga mengakibatkan nyeri. Adanya kontraksi rahim
yang berlebihan, itu sebabnya induksi harus dilakukan dalam pengawasan ketat,
dari dokter yang menangani. Jika ibu merasa tidak tahan dengan rasa sakit yang
di timbulkan, biasanya dokter akan menghentikan proses induksi kemudian di
lakukan operasi sectio caesarea ( David
T.Y. Liu 2007:185)
5. Patofisiologis
Induksi persalinan terjadi akibat adanya
kehamilan lewat waktu, adanya penyakit penyerta yang menyertai ibu misalnya
hipertensi, diabetes, kematian janin, ketuban pecah dini. Menjelang persalinan
terdapat penurunan progesteron, peningkatan oksitosin tubuh, dan reseptor
terhadap oksitosin sehingga otot rahim semakin sensitif terhadap rangsangan.
Pada kehamilan lewat waktu terjadi sebaliknya, otot rahim tidak sensitif
terhadap rangsangan, karena ketegangan psikologis dan kelainan pada rahim.
Kekhawatiran dalam menghadapi kehamilan lewat waktu adalah meningkatnya resiko
kematian dan kesakitan perinatal.
Fungsi plasenta mencapai puncaknya pada kehamilan 38 minggu dan kemudian mulai
menurun setelah 42 minggu , ini dapat di buktikan dengan adanya penurunan kadar
estriol dan plasenta laktogen (dr. Ida
Ayu Chandranita Manuaba, SpOG 2010: 454).
6.
Jenis Induksi Persalinan
1. Secara
medis
a) Infus
oksitosin
b) Prostaglandin
c) Cairan
hipertonik intrauterin
2. Secara
manipulatif atau dengan tindakan
a) Amniotomi
b) Melepaskan
selaput ketuban dari bawah rahim (Stripping of the membrane)
c) Pemakaian
rangsangan listrik
d) Rangsangan
pada puting susu
e) Komplikasi
Induksi Persalinan
o
Penyulit pemberian infus Oksitosin pada
ibu adalah:
1) Tetania
uteri, ruptura uteri membakat dan ruptura uteri
2) Gawat
janin
2.2 Pendarahan
Post Partum
Perdarahan
post partum merupakan penyebab kematian maternal terbanyak. Semua wanita yang
sedang hamil 20 minggu memiliki resiko perdarahan post partum dan sekuelenya.
Walaupun angka kematian maternal telah turun secara drastis di negara-negara
berkembang, perdarahan post partum tetap merupakan penyebab kematian maternal
terbanyak dimana-mana.
Frekuensi
perdarahan post partum yang dilaporkan Mochtar, R. dkk. (1965-1969) di R.S.
Pirngadi Medan adalah 5,1% dari seluruh persalinan. Dari laporan-laporan baik
di negara maju maupun di negara berkembang angka kejadian berkisar antara 5%
sampai 15%. Dari angka tersebut, diperoleh sebaran etiologi antara lain: atonia
uteri (50 – 60 %), sisa plasenta (23 – 24 %), retensio plasenta (16 – 17 %),
laserasi jalan lahir (4 – 5 %), kelainan darah (0,5 – 0,8 %).
Penanganan
perdarahan post partum harus dilakukan dalam 2 komponen, yaitu: (1) resusitasi
dan penanganan perdarahan obstetri serta kemungkinan syok hipovolemik dan (2)
identifikasi dan penanganan penyebab terjadinya perdarahan post partum.
1. Pengertian pendarahan post partum
Perdarahan
post partum adalah perdarahan lebih dari 500 cc yang terjadi setelah bayi lahir
pervaginam atau lebih dari 1.000 mL setelah persalinan abdominal1,2,3. Kondisi
dalam persalinan menyebabkan kesulitan untuk menentukan jumlah perdarahan yang
terjadi, maka batasan jumlah perdarahan disebutkan sebagai perdarahan yang
lebih dari normal dimana telah menyebabkan perubahan tanda vital, antara lain
pasien mengeluh lemah, limbung, berkeringat dingin, menggigil, hiperpnea,
tekanan darah sistolik < 90 mmHg, denyut nadi > 100 x/menit, kadar Hb
< 8 g/dL 2.
Perdarahan post partum dibagi
menjadi:
1) Perdarahan Post Partum Dini /
Perdarahan Post Partum Primer (early postpartum hemorrhage)
Perdarahan
post partum dini adalah perdarahan yang terjadi dalam 24 jam pertama setelah
kala III.
2) Perdarahan pada Masa Nifas /
Perdarahan Post Partum Sekunder (late postpartum hemorrhage)
Perdarahan
pada masa nifas adalah perdarahan yang terjadi pada masa nifas (puerperium)
tidak termasuk 24 jam pertama setelah kala III.
2. Etiologi
Penyebab terjadinya perdarahan post
partum antara lain:
a) Atonia uteri
b) Luka jalan lahir
c) Retensio plasenta
d) Gangguan pembekuan darah
3. Insiden
Insidensi
yang dilaporkan Mochtar, R. dkk. (1965-1969) di R.S. Pirngadi Medan adalah 5,1%
dari seluruh persalinan. Dari laporan-laporan baik di negara maju maupun di
negara berkembang angka kejadian berkisar antara 5% sampai 15%5.
Berdasarkan penyebabnya diperoleh
sebaran sebagai berikut:
a) Sisa plasenta 23 – 24 %
b) Retensio plasenta 16 – 17 %
c) Laserasi - Atonia uteri 50 – 60 %
jalan lahir 4 – 5 %
d) Kelainan darah 0,5 – 0,8 %
4. Kriteria Diagnosis
1) Pemeriksaan fisik:
Pucat,
dapat disertai tanda-tanda syok, tekanan darah rendah, denyut nadi cepat,
kecil, ekstremitas dingin serta tampak darah keluar melalui vagina terus
menerus.
2) Pemeriksaan obstetri:
Mungkin
kontraksi usus lembek, uterus membesar bila ada atonia uteri. Bila kontraksi
uterus baik, perdarahan mungkin karena luka jalan lahir.
3) Pemeriksaan ginekologi:
Dilakukan
dalam keadaan baik atau telah diperbaiki, dapat diketahui kontraksi uterus,
luka jalan lahir dan retensi sisa plasenta.
5. Faktor Resiko
1. Penggunaan obat-obatan (anestesi
umum, magnesium sulfat)
2. Partus presipitatus
3. Solutio plasenta
4. Persalinan traumatis
5. Uterus yang terlalu teregang
(gemelli, hidramnion)
6. Adanya cacat parut, tumor, anomali
uterus
7. Partus lama
8. Grandemultipara
9. Plasenta previa
10. Persalinan dengan pacuan
11. Riwayat perdarahan pasca persalinan
6. Pemeriksaan Penunjang.
1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan
darah lengkap harus dilakukan sejak periode antenatal. Kadar hemoglobin di
bawah 10 g/dL berhubungan dengan hasil kehamilan yang buruk.
Pemeriksaan
golongan darah dan tes antibodi harus dilakukan sejak periode antenatal.
Perlu
dilakukan pemeriksaan faktor koagulasi seperti waktu perdarahan dan waktu
pembekuan.
2. Pemeriksaan radiologi
Onset
perdarahan post partum biasanya sangat cepat. Dengan diagnosis dan penanganan
yang tepat, resolusi biasa terjadi sebelum pemeriksaan laboratorium atau
radiologis dapat dilakukan. Berdasarkan pengalaman, pemeriksaan USG dapat
membantu untuk melihat adanya jendalan darah dan retensi sisa plasenta.
USG
pada periode antenatal dapat dilakukan untuk mendeteksi pasien dengan resiko
tinggi yang memiliki faktor predisposisi terjadinya perdarahan post partum
seperti plasenta previa. Pemeriksaan USG dapat pula meningkatkan sensitivitas
dan spesifisitas dalam diagnosis plasenta akreta dan variannya.
7. Penatalaksanaan
Pasien
dengan perdarahan post partum harus ditangani dalam 2 komponen, yaitu: (1)
resusitasi dan penanganan perdarahan obstetri serta kemungkinan syok
hipovolemik dan (2) identifikasi dan penanganan penyebab terjadinya perdarahan
post partum.
1. Resusitasi cairan
Pengangkatan
kaki dapat meningkatkan aliran darah balik vena sehingga dapat memberi waktu
untuk menegakkan diagnosis dan menangani penyebab perdarahan. Perlu dilakukan
pemberian oksigen dan akses intravena. Selama persalinan perlu dipasang peling
tidak 1 jalur intravena pada wanita dengan resiko perdarahan post partum, dan
dipertimbangkan jalur kedua pada pasien dengan resiko sangat tinggi.
Berikan
resusitasi dengan cairan kristaloid dalam volume yang besar, baik normal salin
(NS/NaCl) atau cairan Ringer Laktat melalui akses intravena perifer. NS
merupakan cairan yang cocok pada saat persalinan karena biaya yang ringan dan
kompatibilitasnya dengan sebagian besar obat dan transfusi darah. Resiko
terjadinya asidosis hiperkloremik sangat rendah dalam hubungan dengan
perdarahan post partum. Bila dibutuhkan cairan kristaloid dalam jumlah banyak
(>10 L), dapat dipertimbangkan pengunaan cairan Ringer Laktat.
Cairan
yang mengandung dekstrosa, seperti D 5% tidak memiliki peran pada penanganan
perdarahan post partum. Perlu diingat bahwa kehilangan I L darah perlu
penggantian 4-5 L kristaloid, karena sebagian besar cairan infus tidak tertahan
di ruang intravasluler, tetapi terjadi pergeseran ke ruang interstisial.
Pergeseran ini bersamaan dengan penggunaan oksitosin, dapat menyebabkan edema
perifer pada hari-hari setelah perdarahan post partum. Ginjal normal dengan
mudah mengekskresi kelebihan cairan. Perdarahan post partum lebih dari 1.500 mL
pada wanita hamil yang normal dapat ditangani cukup dengan infus kristaloid
jika penyebab perdarahan dapat tertangani. Kehilanagn darah yang banyak,
biasanya membutuhkan penambahan transfusi sel darah merah.
Cairan
koloid dalam jumlah besar (1.000 – 1.500 mL/hari) dapat menyebabkan efek yang
buruk pada hemostasis. Tidak ada cairan koloid yang terbukti lebih baik
dibandingkan NS, dan karena harga serta resiko terjadinya efek yang tidak
diharapkan pada pemberian koloid, maka cairan kristaloid tetap
direkomendasikan.
2. Transfusi Darah
Transfusi
darah perlu diberikan bila perdarahan masih terus berlanjut dan diperkirakan
akan melebihi 2.000 mL atau keadaan klinis pasien menunjukkan tanda-tanda syok
walaupun telah dilakukan resusitasi cepat.
PRC
digunakan dengan komponen darah lain dan diberikan jika terdapat indikasi. Para
klinisi harus memperhatikan darah transfusi, berkaitan dengan waktu, tipe dan
jumlah produk darah yang tersedia dalam keadaan gawat.
Tujuan
transfusi adalah memasukkan 2 – 4 unit PRC untuk menggantikan pembawa oksigen
yang hilang dan untuk mengembalikan volume sirkulasi. PRC bersifat sangat
kental yang dapat menurunkan jumlah tetesan infus. Msalah ini dapat diatasi
dengan menambahkan 100 mL NS pada masing-masing unit. Jangan menggunakan cairan
Ringer Laktat untuk tujuan ini karena kalsium yang dikandungnya dapat
menyebabkan penjendalan.
8. Pencegahan
Bukti
dan penelitian menunjukkan bahwa penanganan aktif pada persalinan kala III
dapat menurunkan insidensi dan tingkat keparahan perdarahan post partum.
Penanganan aktif merupakan kombinasi dari hal-hal berikut:
a. Pemberian uterotonik (dianjurkan
oksitosin) segera setelah bayi dilahirkan.
b. Penjepitan dan pemotongan tali pusat
dengan cepat dan tepat.
c. Penarikan tali pusat yang lembut dengan
traksi balik uterus ketika uterus berkontraksi dengan baik.
2.3 Induksi
Persalianan Secara Farmakoterapi
1. Tracrium
Atrakurium
merupakan relaksan otot nondepolarisasi. Obat ini berkompetisi untuk reseptor
kolinergik pada lempeng alir motorik. Lama blokade neuromuskuler adalah
sepertiga dari pankuronium pada dosis ekuipoten. Obat ini mengalami metabolisme
yang cepat via eliminasi Hofmann dan hidrolisis ester enzymatic non spesifik.
Metabolik primernya adalah landanosin, suatu stimulan otak terutama diekskresi
ke dalam urine. Dosis yang berulang atau infus yang berlanjut kurang mempunyai
efek komulatif terhadap angka pemulihan dibanding relaksan otot lain.
Konsentrasi landanosin darah dapat mendekati rentang konvulsan (5,1 g/ ml)
pada infusyang lama. Pelepasan histamin dan perubahan hemodinamik dalam rentang
dosis yang disarankan dan jika diberikan secara lambat adalah minimal. Dosis
yang lebih tinggi (0,5 g/ kg) dapat menyebabkan pelepasan histamin yang
sedang, penurunan tekanan arteri dan peningkatan nadi.
a. Dosis
1. Intubasi : IV 0,3 – 0,5 mg/ kg BB
2. Pemeliharaan : IV 0,1 – 0,2 mg/ kg
BB (10% – 50% dari dosis intubasi)
3. Infus : 2 – 15 g/ kg per menit
b. Eliminasi
1. Plasma (eliminasi Hofmann, hidrolisis ester), hati,
ginjal.
2. Pengenceran untuk infus : 20 mg
dalam 100 ml larutan D5W atau NS (0,2 mg/ ml) ; 50 mg c)dalam 100 ml larutan
D5W atau NS (0,5 mg/ ml).
c. Farmakokinetik
1. Awitan aksi : < 3 menit
2. Afek puncak : 3 – 5 menit
3. Lama aksi : 20 – 35 menit.
d. Interaksi / toksisitas
Blokade
neuromuskuler dipotensiasi oleh aminoglikosida, antibiotik, anestetik lokal,
dioretik, magnesium, litium, obat-obatan penyekat ganglion, hipotermi, hipokalemia,
dan asidosis pernafasan, pemberian suksinilkolin sebelumnya ; kebutuhan dosis
berkurang (sekitar 30 – 45%) dan lama blokade neuromuskuler diperpanjang hingga
25% oleh anestetik volatil ; dosis pra pengobatan atracurium mengurangi
fasikulasi tetapi menurunkan intensitas dan memperpendek lamanya blokade
neuromuskuler dari suksinilkolin ; peningkatan blokade neuromuskuler akan
terjadi pada pasien dengan miastenia grafis atau fungsi adreno kortikal yang
tidak adekuat. Efeknya diantagonisir oleh inhibitor antikolinesterase, seperti
neostigmin, endrofonium, dan piridostigmin ; peningkatan resistensi atau
reversi efek dengan penggunaan teofilin dan pada pasien dengan luka bakar dan
paresis.
e. Peringatan
Gunakan
hati-hati pada pasien dengan riwayat asma bronkiale dan reaksi anafilaktoid.
f. Rekasi terhadap sistem tubuh
1. Kardiovaskuler : hipotensi,
vasodilatasi, takikardi sinus, bradi kardi sinus.
2. Pulmoner : hipoventilasi, apnea,
bronkospasma, laringospasma, dispnea.
3. Muskuloskeletal : blok yang tidak adekuat, blok yang lama.
4. Dermatologi : ruam, urtikaria.
2. Pentotal
Obat
ini berbentuk pudar berwarna kuning dengan bau menyerupai H2S. obat ini larut
dalam air dan alkohol. Larutan biasanya 2,5 – 5% dalam cairan aquades dan
larutan ini sifatnya basa (PH 10,81).
Dalam bentuk larutan obat ini tidak stabil, tapi dapat disimpan 24
sampai 48 jam tanpa bahaya asal cairan larutan itu tetap jernih. Bila menjadi
keruh harus dibuang.
a. Pengeruh terhadap sistem tubuh
1. Terhadap susunan syaraf pusat.
Seperti
obat barbiturate lainnya obat ini menimbulkan sedasi, hipnose, sedikit
analgesia, anestesia dan depresi pernafasan tergantung dari dosis dan kecepatan
pemberian. Obat ini suatu anti konvulsan dan meninggikan ambang rangsangan pada
sel-sel syaraf. Korteks serebri dan asending retikuler–aktivating sistem
terdepresi lebih dulu sebelum pusat meduler. Obat ini lebih mendepresi
transmisi simpatis dari pada para simpatis.
2. Pada sistem respirasi
Pengaruh
yang terbesar dari obat ini ialah depresi terhadap pusat pernafasan, yang
tergantung pada dosis pemberiannya. Sensitivitas dari pusat pernafasan terhadap
pengaruh CO2 menurun bahkan tidak ada. Tapi pada refleks karotid dan aortik
body terhadap kekurangan oksigen masih tetap ada yang menimbulkan stimuli
terhadap pernafasan.
3. Pada sistem kardiovaskuler
Kekuatan
kontraksi jantung menurun dan jantung melebar, tetapi hal ini tidak penting
bagi penderita yang sehat dan hanya dengan dosis yang sedang. Hati-hati pada
dekompensatio kordis dan sangat berbahaya pada penyakit jantung yang tidak dapat
melakukan kompensasi bila terjadi perubahan kardiak output seperti konstriktif
perikarditis, valvular stenosis, complete heart block. ekanan darah menurun akibat dari depresi pada
pusat vasomotor atau karena pelebaran dari vaskular bed pada kulit dan otot.
4. Pada uterus yang hamil
Tidak
mempengaruhi tonus uterus. Dapat melewati plasental barier dan mencapai
konsentrasi maksimumnya pada peredaran darah bayi segera setelah disuntikkan.
b. Keuntungan-keuntungan
1. Induksi yang cepat dan mudah
2. Tidak ada stadium delirium.
3. Dengan dosis yang tepat, recovery
cepat dan relatif bebas dari muntah dan nausea.
4. Tidak ada iritasi pada mukosa
saluran nafas.
5. Dapat mempercepat dalamnya narkose.
c. Kerugian-kerugian
1. Depresi pernafasan
2. Cenderung terjadi laringospasma
3. Dengan dosis yang aman, relaksasi
abdomen hanya sedikit.
4. Depresi kardiovaskuler terutama
untuk penderita yang lemah.
5. Terjadi gerakan otot yang tidak
terkoordinir.
d. Kontra indikasi pentotal
1. Anak-anak di bawah usia 4 tahun.
Karena pusat pernafasannya sangat mudah terdepresi.
2. Penderita shock, sangat anemis dan
kasus uremia.
3. Dispnea yang berat akibat penyakit
jantung atau paru-paru.
4. Kasus obstruksi pernafasan.
5. Bronkoskopi dan esofaguskopi,
kecuali disertai topikal anestesi yang cukup/ relaksan.
6. Penderita asma.
7. Penderita yang lemah dan tua.
8. Kasus distrofia miotonia
9. Addisons desease dan mix odema.
10. Miastenia grafis
11. Gangguan fungsi hepar.
12. Porphyria
13. Hiperkalemia familial periodik
paralisis.
14. Huntingtons Chorea
15. Pada eksternal version (relaksasi
tidak cukup)
16. Penderita yang susah dicari venanya.
e. Dosis
o
Induksi
: IV 3 – 5 mg/ kg BB (anak 5 – 6 mg/ kg ; bayi 7 – 8 mg/ kg )
o
Suplementasi
anestesia : IV 0,5 – 1 mg/ kg BB.
o
Induksi
rektal : 25 mg/ kg BB
o
Antikomvulsan
: IV 0,5 – 2 mg/ kg BB, ulangi seperti yang diperlukan.
o
Penurunan
ICP : IV 1 – 4 mg/ kg BB
o
Narkosis
barbiturat : bolus IV 8 mg/ kg prn untuk mempertahankan supresi ledakan EEG
(dosis total 40 mg/ kg BB)
o
Infus
: 0,05 – 0,35 mg/ kg BB/ menit ; pada dosis tinggi diperlukan bantuan
pernafasan dan inotropik.
3.
Suksinil
Kolin Klorida
Suksinil
kolin merupakan relaksan otot skelet depolarisasi beraksi ultra pendek.
Berkombinasi dengan reseptor kolinergik dari lempeng akhiran motorik untuk
menghasilkan depolarisasi (fasikulasi). Suksinil kolin tidak mempunyai efek
terhadap kesadaran, ambang nyeri, uterus atau otot polos lain. Suksinil kolin
dapat meningkatkan tekanan intra okuler. Efek jantung awal mencerminkan aksi
pada ganglia otonomik (meningkatkan nadi dan tekanan darah). Pada dosis yang
lebih tinggi dapat terjadi bradikardi sinus.
a. Farmakokinetik
Awitan aksi : IV 30 – 60 menit, IM 2
– 3 menit.
Efek puncak : IV 60 menit.
Lama aksi : IV 4 – 6 menit, IM 10 –
30 menit.
b. Interaksi / Toksisitas
Blokade
neuromuskuler dapat diperpanjang terjadi pada pasien dengan hipokalemia atau
hipokalsemia, pseudo kolinesterase plasma yang rendah. Blokade diperpanjang
oleh pra pengobatan dengan pankuronium. Pada miastenia grafis respon tidak
dapat diramalkan, bradikardi setelah suntikan IV kedua. Suksinil kolin tidak
kompatibel dengan larutan alkali dan akan mengendapkan natrium tiopental.
c. Penggunaan
Relakasasi
otot skelet
Dosis : IV 0,7 – 1 mg/ kg BB (1,5mg/
kg dengan pra pegobatan non depolarisator). Neonatus dan bayi 2 – 3 mg/ kg BB,
anak-anak 1 – 2mg/ kg BB
IM
: dalam 2,5 – 4 mg/ kg BB
d. Reaksi samping utama
·
Kardiovaskuler
: hipotensi, bradikardi, aritmia, takikardia, hipertensi.
·
Pulmoner
: hipoventilasi, apnea, bronkospasma.
·
GI
: salivasi berlebihan, peningkatan tonus sfingter intragastrek dan esofagus
bagian bawah.
·
Alergik
: reaksi anapilaktik, ruam.
·
Muskuloskeletal
: blok yang diperpanjang, blok yang tidak adekuat, nyeri otot, peningkatan
tonus maseter.
·
Lain-lain
: hoperkalemia, hipertermia maligna, peningkatan tekanan intra okuler.
4. Enflurane (etrane)
Enflurane
merupakan metil eter yang mudah menguap. Merupakan cairan jernih, tidak
berwarna dengan bau harum dan menyebabkan iritasi minimal pada jalan nafas,
sehingga merupakan obat yang nyaman untuk induksi inhalasi. Enflurane tidak
mudah terbakar pada konsentrasi dibawah 5,8 % (dengan 70 % N2O dan 30 % O2).
Stabil pada sodalime, tidak bereaksi dengan logam dan tidak dapat dipengaruhi
oleh cahaya.
MAC
Enflurane menurun sesuai dengan umur, dengan nilai tertinggi pada bayi (2,4)
dan terendah pada orang tua (1,4). Pada dewasa sekitar 40 tahun, MAC Enflurane
dalam oksigen sebesar 1,7. Penambahan 50% N2O akan menurunkan MAC sekitar 50%
menjadi 0,9 dan bila N2O ditingkatkan menjadi 70% maka MAC menurun 70% menjadi
sekitar 0,5.
a. Cara Pemberian
Induksi
dapat dilakukan dengan cepat dengan menggunakan obat intravena seperti
tiopental atau dengan inhalasi dengan meningkatkan secara gradual konsentrasi
enflurane sampai 4%. Dengan teknik induksi menggunakan sungkup muka, stadium
anestesi dicapai dalam 7-10 menit, sehingga enflurane merupakan gas yang nyaman
untuk induksi dan lebih disukai daripada halotan.
b. Absorbsi dan Eliminasi :
Koefisien
partisi darah/gas enflurane adalah 1,9 (370 C) dan kelarutannya sangat
bervariasi, berhubungan dengan berat badan dan kadar hemoglobin. Body Mass
Index (BMI) diatas 30 menunjukkan kelarutan darah/gas yang rendah yaitu 1,8
dibandingkan nilai rata-rata sekitar 2,0 pan non obs. Konsentrasi Hb
mempunyai efek yang lebih besar. Hb 8,0
g/dl mempunyai koefisien darah/gas 1,2. Hb 12,0 g/dl berkisar 1,8 dan Hb 15, 0
g/dl berkisar 2,2. Koefisien kelarutan darah/gas rata-rata enflurane adalah 1,9
menunjukkan bahwa induksi menggunakan enflurane lebih lambat dibandingkan
isoflurane. Kelarutan dalam jaringan kurang lebih setengah dari isoflurane,
akibatnya efek terhadap jaringan lebih lambat, sehingga cenderung menkonpensasi
kelarutan dalam darah yang tinggi. Setelah 10 menit induksi, konsentrasi
alveolar enflurane berkisar 50% konsentrasi inspirasi dan dalam 30 menit
menjadi 60%. Keseimbangan dalam jaringan kaya pembuluh darah tercapai dalam 10
menit. Selama 30 menit berikutnya uptake enflurane secara gradual akan menurun
dan konsentrasinya lebih rendah, dengan rentang 3,0–3,5% akan memelihara
konsentrasi alveolar sekitar 30% diatas MAC. Pada 1,3 MAC konsentrasi enflurane
dalam darah (mg/dl), dengan koefisien kelarutan 1,9 dan tekanan parsial darah
2,2% (1,7% x 1,3 MAC), berkisar 30 mg/dl. Dengan N2O 70%, konsentrasi alveolar
1,3 x MAC dapat dipertahankan dengan membuat konsentrasi inspirasi enflurane
sebesar 1,5%.
Pulih
sadar bervariasi sesuai lama anestesi. Pada tindakan anastesi kurang dari 30
menit, rata-rata pulih sadar adalah 4 menit, dibandingkan 10 menit pada
halotan. Dengan demikian rekoferi pasca tindakan anestesi yang diangkat pada
penggunaan enflurane lebih cepat dibandingkan dengan halotan, sehingga
enflurane lebih nyaman digunakan pada pelayanan pembedahan sehari. Untuk
tindakan yang lama, pulih sadar enflurane 2 kali lebih panjang dari isoflurane,
tetapi pada tindakan anastesi kurang dari 1 jam, pulih sadar terjadi kurang
dari 15 menit pada sebagian besar pasien.
c. Biotransformasi
2-8
% enflurane yang diabsorbsi dimetabolisme dan diekskresikan dalam urine sebagai
ikatan fluorinated non volatil dan fluor bebas. Metabolik utama adalah asam
diflurometoksi difluroasetat yang dihasilkan dari hidroksilasi dan
dehidrogenasi karbon dari kelompok etil. Eliminasi enflurane dalam udara
ekspirasi dalam bentuk trieksponensial dengan T ½ sekitar 17,8 menit, 3,2 jam
dan 36,2 jam.
d. Kadar Fluor Serum
Dalam
klinik, kadar fluor serum inorganik jarang mencapai 50 mol/l (merupakan ambang
toksisitas sub klinik). Dengan enflurane 2 MAC kadar fluor serum kurang dari 20
mol/l. kadar fluor yang tinggi tampak pada pasien yang gemuk, dengan kadar
puncak sekitar 30 mol/l. akibat peningkatan pada metabolisme, fenomena ini
juga tampak pada isoflurane. Fluor yang bebas yang terbentuk, kurang lebih prosentasenya akan cepat dideposit pada
tulang dan setengahnya lagi akan diekskresi dalam urine. Selanjutnya fluor secara
bertahan akan dikeluarkan dari tulang dan akan diekskresikan melalui ginjal.
e. Efek-Efek Fisiologis
1. Sistem Syaraf Pusat
Penekanan
progresif pada sususnan syaraf pusat terjadi dengan peningkatan kadar enflurane
dalam darah, pada sekitar 15-20 ml/dl. Tanda-tanda iritabilitas tampak pada 2%
dari pasien yang dimanifestasikan dengan gerakan abnormal (twitching) pada
rahang, leher atau ekstreminitas yang berhubungan dengan kedalaman anestesi dan
hipokarbi. Aktivitas kejang biasanya hilang sendiri dan tidak berlanjut bila
anastesi dikurangi dan fentilasi dikembalikan normal, meskipun konsentrasi
enflurane yang rendah (dibawah 2,0%).
2. Aliran Darah Otak (CBF)
Enflurane
hanya sedikit meningkatkan CBF meskipun demikian efek potensial pada tekanan
intrakranial mungkin sebaiknya dipertimbang-kan dengan adanya lesi
intrakarnial. Pada konsentrasi 1 MAC enflurane meningkatkan CBF sekitar 50%
dimana hal ini dianggap cukup rendah dibandingkan dengan halotan yang dapat
menaikkan CBF 2,5 kali lipat dari normal. Pada 1,5 MAC enflurane meningkatkan
CBF 2 kali lipat meskipun peningkatan CBF oleh enflurane dapat dikurangi dengan
hiperventilasi (yang menunjukkan bahwa reaktifitas CO2 tetap terpelihara).
Enflurane
juga mendespresi susunan syaraf pusat. Pada 1-2 MAC, enflurane menurunkan CMRO2
sebesar 10-15%. Efek enflurane pada sekresi LCS adalah unik. Pada awalnya akan
menaikkan produksi LCS sekitar 50%, sehingga menaikkan TIK pada pasien dengan
penurunan kompliance intrakranial. Selanjutnya terjadi penurunan secara
bertahap sekitar 6% per jam.
3. Respirasi
Depresi
ventilasi oleh enflurane sesuai kedalaman anestesi perubahan moderat pada
ventilasi selama anestesi dangkal dengan 1,5-2 % enflurane dan 50%N2O akan
memperbaiki takipnea dan volume tidal yang kecil. Enflurane cukup kuat mendepresi
respirasi sehingga ventilasi asisted atau kontrol diperlukan. Ventilasi spontan
pada pasien tanpa premedikasi dengan enflurane konsentrasi tinggi (dalam O2),
ternyata mengalami depresi. Hal ini dibuktikan dengan peningkatan PaCO2 yang
melebihi 70 mmHg pada konsentrasi alveolar sekitar 1,5 MAC.
Tidak
lama setelah induksi terjadi perubahan yang ringan pada hantaran jalan nafas,
tetapi dalam 15 menit tahanan jalan nafas akan menurun 56%, keadaan ini lebih
menguntungkan.
4. Jantung
Depresi
kontraktilitas miokard terjadi selama anastesi dengan enflurane. Efek primer
pada kontraktilitas menurunkan kekuatan kontraksi dan efek sekundernya adalah
memendekkan durasi keadaan aktif. Para meter lain yang terdepresi adalah
kecepatan pemendekan yaitu pemendekan serabut, tekanan menuju puncak dan
kecepatam maksimal kontraksi isotonik kekuatan dan kerja. Depresi ini
menurunkan curah jantung sebesar 30%, peranan terbesar adalah dengan menurunkan
stroke volume.
Irama
jantung tetap stabil. Aritmia umumnya tidak sering, termasuk kontraksi
ventrikel yang prematur, bradikardi irama nodul dan kontrasi atrium yang
prematur. Enflurane tidak meningkatkan sensitifitas terhadap katekolamin dengan
derajar yang hampir sama dengan halotan. Enflurane dalam oksigen menurunkan
resistensi vaskuler koroner sekitar 20% sedangkan konsumsi O2 miokard turun
40%. Enflurane merupakan vasodilator koroner dan tambahan N2O memperkuat efek
ini. Pada 1-1,5 MAC menurunkan tekanan darah arteri sekitar 35-40%. Depresi
simpatis sentral tampaknya bukan merupakan faktor yang penting sebagai penyebab
hipertensi dengan enflurane oleh karena enflurane menurunkan resistensi
vaskular sistemik hanya 20-25%.
5. Sistem Syaraf Simpatis
Sekresi
dan pelepasan katekolamin dari medula adrenal, dari aktivasi syaraf simpatis
yang spontan atau dari stimulasi nervus splandinicus dihambat oleh enflurane.
6. Ginjal
Menurunkan aliran darah ginjal,
kecepatan filtrasi glomerulus, dan urine output. Sebagai akibat penurunan
tekanan darah jantung. Setelah pemberian enflurane jangka lama, peningkatan
kadar fluor diduga akibat penurunan kemampuan pemekatan ginjal.
7. Hepar
Selama
anestesi rutin dengan enflurane tidak terjadi penurunan fungsi hepar.
8. Efek Neuromuskuler
Pada
1,5– 2,5 MAC mendepresi secara tidak langsung respon kejang pada preparat neuromuskuler.
Keadaan ini menunjukkan bahwa enflurane mempunyai efek yang poten terhadap
neuromuskuler junction. Pelumpuh otot dapat mengurangi konsentrasi enflurane
sehingga dapat mengurangi terjadinya hipertensi.
5. Efedrin sulfat
a. Farmakologi
Obat
ini merupakan suatu simpatomimetik non katekolamin dengan campuran aksi
langsung dan tak langsung. Obat ini resisten terhadap metabolisme oleh MAO dan
methil transferase katekol O (COMP), menimbulkan aksi yang berlangsung lama.
Meningkatkan curah jantung, tekanan darah dan nadi melalui stimulasi adrenergik
alfa dan beta. Meningkatkan aliran darah
koroner dan skelet dan menimbulkan bronkodilatasi melalui stimulasi reseptor
beta 2. Epedrim mempunyai efek minimal terhadap aliran darah uterus, namun
memulihkan aliran darah uterus jika digunakan untuk mengobati hipotensi
epidural atau spinal pada pasien hamil.
b. Farmakokinetik
1. Awitan aksi : IV hampir langsung, IM
beberapa menit.
2. Efek puncak : IV 2 – 5 menit, IM
kurang 10 menit.
3. Lama aksi : IV / IM 10 – 60 menit.
4. Interaksi / Toksisitas : peningkatan
resiko aritmia dengan obat anestetik volatil.
c. Reaksi samping utama
1. Kardiovaskuler : hipertensi, takikardia, aritmia.
2. Pulmuner : edema paru
3. Susunan syaraf pusat : ansietas, tremor.
4. Metabolik : hiperglikemia,
hiperkalemia sementara, kemudian hipokalemia.
5. Dermatologi : nekrosis pada tempat suntikan.
6. Penggunaan : vasopresor, bronkodilator.
d. Dosis
1. IV 5 – 20 mg (100 – 200 g/ kg)
2. IM : 25 – 50 mg.
3. PO : 28 – 50 mg tiap 3 – 4 jam.
4. Eliminasi melalui hati dan ginjal.
6. Petidine
a. Farmakologi
Opioid
sintetik ini mempunyai kekuatan kira-kira sepersepuluh morfin dengan awitan
yang sedikit lebih cepat dan lama aksi yang lebih pendek. Dibandingkan dengan
morpin, petidin lebih efektif pada nyeri neuropatik. Mempunyai efek vagolitik
dan antispasmodik ringan. Dapat menimbulkan hipotensi ortostatik pada dosis
terapeutik. Petidin metabolik aktifnya merupakan stimulan otak dan terutama
diekskresikan ke dalam urine. Petidine menurunkan aliran darah otak, kecepatan
metabolisme otak dan TIK. Petidine melewati sawar plasenta maksimum dan depresi
neonatus terjadi dua sampai tiga jam setelah pemberian parenteral. Pemberian
petidine spinal dan epidural menimbulkan anelgesia melalui pengikatan spesifik
dan aktivasi dari reseptor opioid dalam substansia gelatinosa.
b. Farmakokinetik
1. Awitan aksi : IV < 1 menit. IM
1–5 menit. Spinal/ epidural 2–12 menit
2. Efek puncak : IV 5–20 menit, IM
30–50 menit, Spinal/ epidural 30 menit
3. Lama aksi : IV/ IM 2–4 jam,
epidural/ spinal 0,5 – 3 jam.
c. Interaksi/ Toksisitas
Kejang,
mioklonus, delirium pada dosis tinggi berulang dan pada pasien dengan gangguan
ginjal atau hati ; mempotensiasi depresi susunan syaraf pusat dan sirkulasi
dari narkotik, sedatif narkotik, anestetik volatil, anti depresi trisiklik ;
reaksi berat kadang-kadang fatal (hipertermia, hipertensi, kejang) dengan
inhibitor MAO : memperburuk efek samping isoniazid, campuran yang secara
kimiawi tidak kompatibel dengan barbiturat, analgesia ditingkatkan dan
diperpanjang oleh agonis alfa 2 (klonidin) ; penambahan epineprin pada petidin
intra tekal/ epidural menimbulkan peningkatan efek samping (mual) dan
perpanjangan blok motorik.
Pengenceran
untuk infus : IV 100 mg dalam 50 ml D5W atau NS (2 mg/ ml), infus epidural 100
– 500 mg dalam 50 anestetik lokal atau NS (bebas pengawet) 2 – 10 mg/ ml.
d. Reaksi samping utama
1. Kardiovaskuler : hipotensi, henti jantung.
2. Pulmoner : depresi pernafasan, henti nafas,
laringospasma.
3. Susunan syaraf pusat : eforia, disforia, sedasi, kejang,
ketergantungan psikis.
4. GI
: konstipasi, spasma trakstus biliaris.
5. Muskuloskeletal : kekakuan dinding dada
6. Alergik : urtikaria, pruritus.
7. Pitogin Ampul
Komposisi : Sinthetic Oxytocin.
1) Indikasi
1. Induksi pada persalinan dan kasus
lain.
2. Kontrol perdarahan dan pasca partum,
atonus uterus.
3. Menstimulasi kontraksi uterus pasca
operasi sesar atau operasi uterus lainnya.
4. Induksi Pada abortus.
2) Kontra Indikasi
Kontraksi
hipertonik, gawat janin dalam persalinan preterm, disporposi sefalopelvik,
presentase abnormal, plasenta previa, abruptio plasenta, lilitan tali pusat
atau prolapsus, peregangan berlebihan pada uterus.
3) Perhatian
Untuk
induksi atau mempercepat persalinan gunakan infus Intra Vena, monitor kecepatan
detak jantung janin dan kontraksi uterus.
o
Interaksi
Obat:
Prostaglandin,
anestesi inhalasi, vasokonstriktor.
4) Efek Samping
Intoksikasi
air sementara, gangguan Gastro Intestinal, aritmia jantung.
5) Indeks Keamanan Pada Wanita Hamil
X:
Penelitian pada manusia dan hewan telah menunjukkan janin yang abnormal atau
ada kejadian berbahaya pada janin berdasarkan pengalaman manusia atau keduanya,
dan risiko penggunaan obat pada wanita hamil jelas melampaui keuntungannya.
Obat dikontraindikasikan pada wanita yang sedang atau akan hamil.
6) Kemasan
Ampul
10 iu/mL 1 mL x 10's.
o
Dosis
1. Induksi atau mempercepat Persalinan
1 - 5 iu secara infus Intra Vena dalam 500 mL larutan infus. Awal kecepatan
infus : 1 - 4 miliunit / menit ( 2 - 8 tetes/menit ), ditingkatkan secara
bertahap, maksimal : 20 miliunit /menit ( 40 tetes/menit )
2. Abortus Inkomplet 5 iu Intra Vena
perlahan atau 5 - 10 iu Intra Muskular, perlu lanjutkan dengan 20 - 40
miliunit/menit infus Intra Vena.
3. Pencegahan atau Terapi Perdarahan
Pasca Persalinan 5 iu Intra Vena atau Intra Muskular.
4. Seksio Caesar 5 iu intramural atau Intra
Vena perlahan setelah anak lahir.
5. Obat – obat yang termasuk uterotonik
dan yang biasa digunakan untuk pencegahan perdarahan postpartum :
ü Oksitosin
Oksitosin
identik dengan oksitosin yang dibuat oleh tubuh di lobus posterior hipotalamus.
Dapat diberikan suntikan intravena atau intramuskular sebelum atau setelah
melahirkan tali pusat. Dianjurkan untuk diberikan setelah melahirkan bahu depan
(anterior shoulder). Hati – hati bila diberikan bolus karena dapat menyebabkan
hipotensi.
ü Metilergometrin
Metilergometrin
biasa diberikan secara intramuskular meskipun juga dapat diberikan intravena
atau oral. Kontraindikasi untuk pasien dengan hipertensi, migrain, sindroma
Raynaud. Efek samping yang mungkin timbul mual, muntah, tinitus, sakit kepala,
peningkatan tekanan darah. Metilergometrin juga dikeluarkan melalui ASI.
Di
beberapa negara dunia, selain dari uterotonik yang sudah ada danPitocin adalah
Oksitosin versi sintetik yang dibuat manusia. Oksitosin adalah hormon alami
yang diproduksi oleh tubuh.
§ Kapan Pitocin Digunakan dalam
persalinan?
Meskipun
Pitocin dimaksudkan untuk hanya digunakan dalam kala I tahap akhir, namun
kenyataannya saat ini itu digunakan secara rutin dari awal persalinan atau
bahkan untuk memulai persalinan secara artifisial. Padahal Penggunaan yang
disarankan, pada label adalah:
PENGGUNAAN:
Oksitosin
adalah hormon yang digunakan selama tahap akhir kehamilan untuk menginduksi
persalinan (kontraksi). ini sering
digunakan untuk induksi persalinan pada kehamilan sulit atau kehamilan berisiko
komplikasi (misalnya, preeklampsia, eklampsia, diabetes).
Pitocin
sering dianjurkan jika staf medis Anda terasa seperti tidak ada
"kemajuan" dalam persalinan atau jika kontraksi Anda tampaknya tidak
akan "efektif". Dokter mengikuti bagaimana kemajuan persalinan anda
melalu grafik. Grafik ini telah ada selama seratus tahun atau lebih. Bagan
untuk persalinan tahap pertama (kala I) adalah seorang ibu bersalin harus
mengalami pembukaan serviks/ melebarkan 1 cm / jam.
Kontra indikasi Pitocin:
Saya
akan mulai dengan mengatakan bahwa dalam situasi darurat yang benar Pitocin
dapat menjadi alat vital. Jika seorang wanita mengalami pendarahan setelah
melahirkan, Pitocin dapat membantu menghentikan pendarahan sebelum resiko
kematian mengancam. Namun, sebagian besar pitocin tidak digunakan untuk situasi
darurat saja.
PERINGATAN:
Obat
ini direkomendasikan hanya untuk digunakan dalam kehamilan yang memiliki alasan
medis untuk membantu persalinan (misalnya, eklampsia). Hal ini tidak dianjurkan
untuk prosedur elektif (sukarela) atau untuk membuat proses melahirkan lebih
nyaman. Untuk informasi tambahan, konsultasikan dengan dokter Anda.
2.4 Penanganan
Perdarahan Post Partum Secara Farmakoterapi
Tranexamic
acid digunakan untuk membantu menghentikan kondisi perdarahan. Tranexamic acid
merupakan agen antifibrinolytic. Obat ini bekerja dengan menghalangi pemecahan
bekuan darah, yang mencegah pendarahan. Obat ini hanya tersedia dengan resep
dokter.
o
Obat
ini tersedia dalam bentuk sediaan berikut:
a. Tablet
b. Sirup
o
Indikasi
1. Untuk membantu menghentikan
perdarahan
2. Pengelolaan jangka panjang untuk
angioedema herediter
o
Kontraindikasi
1. Gagal ginjal berat
2. Pembekuan intravaskular aktif
3. Penyakit tromboemboli
4. Gangguan penglihatan warna
5. Perdarahan subarachnoid
o
Dosis
Dewasa
1. Untuk pengelolaan perdarahan jangka
pendek
1-1,5 g 2-4 kali/hari
2. Pengelolaan jangka panjang untuk
angioedema herediter
1-1,5 g 2-3 kali/hari
o
Efek
samping
Seiring
dengan efek yang diperlukan, obat dapat menyebabkan beberapa efek samping.
Meskipun kecil kemungkinan untuk mengalami efek samping pada penggunaan obat
ini, namun jika terjadi efek samping mungkin akan memerlukan perawatan medis.
Segera periksa ke dokter, jika terjadi salah satu efek samping berikut ini:
1. Kulit pucat
2. Masalah pada pernapasan
3. Perdarahan atau memar yang tidak
biasa
4. Kelelahan atau kelemahan